Guru, PNS dan Kerja Sampingan

Diam-diam saya tertarik mengorek jumlah anak yang dimiliki teman-teman. Ternyata, menurut data di Album Kenangan reuni dan tambahan dari sumber lain, jumlah anak yang ideal menurut versi teman-teman adalah 2 dan 3 anak. Tercatat setidaknya ada 6 orang teman kita yang mempunyai anak 2 atau 3 orang. Yang kurang bahkan lebih dari itu, tentu saja ada. Misalnya, paling tidak ada 3 orang teman kita yang anaknya 4 orang, dan 3 orang yang hanya punya 1 anak.
Saya terus berpikir, dengan bekerja sebagai PNS, ternyata mampu untuk menghidupi 2 sampai 3 orang anak. Padahal tidak semua teman-teman yang berkeluarga, istrinya juga bekerja. Padahal biaya hidup kian hari kian mahal, dan terus meningkat. Padahal sekitar 20 anak teman kita itu sudah bersekolah sampai SMA bahkan kuliah. Berarti kesejahteraan teman-teman kita cukup memadai, begitu kesimpulan saya.
Apakah berarti ada korelasi antara jumlah anak dengan kesejahteraan finansial? Saya tidak yakin kalau makin banyak anak berarti penghasilannya semakin tinggi, dan sebaliknya. Tidak menutup kemungkinan rencananya cuma 2 anak, tapi ketambahan yang tidak terencanakan 2. Atau yang punya anak semata wayang memang diniati sejak awal, dan yang belum punya anak bukan tidak mau, tapi memang belum diberi oleh yang Maha Kuasa. Jadi banyak kemungkinannya.
Selanjutnya saya mulai mengerti bahwa sebagai PNS, sebagian besar teman-teman memang posisinya relatif mapan. Yang PNS golongannya sudah IVc atau malah d? Empat diantaranya berstatus kepala sekolah, mungkin akan menyusul satu lagi. Lainnya mungkin mempunyai jabatan fungsional ini itu, yang memungkinkan mendapat tunjangan ini itu pula.
Dan ternyata, sebagian dari teman-teman kita juga punya sampingan lain. Macam-macam bentuknya. Ada yang mengkoordinasi arisan motor, ada yang jualan batik, ada yang memanfaatkan rumah untuk jual pracangan, ada yang makelaran mobil/motor. Malah ada teman kita yang punya bisnis yang hasilnya jauh melebihi gaji sebagai PNS. Ibaratnya jadi PNS cuma sampingan, Di luar itu, pastinya ada yang benar-benar full menggantungkan diri dari gaji PNS.
Jadi kalau ada yang bilang jadi guru kesejahteraannya kurang, itu relatif. Paling tidak teman-teman kita telah membuktikannya bisa hidup cukup sebagai PNS. Pantas ada buku yang judulnya “Siapa bilang jadi guru hidupnya susah?” yang perkiraan saya ditulis oleh seorang guru. Saya belum baca sih. Mungkin penulisnya ingin menjawab stigma negatif bahwa guru itu pasti miskin dan serba kurang, adalah tidak benar.
Saya sendiri yang bukan guru, sekali-kali dibayangi rasa iri dengan profesi guru. Saya suka iri melihat guru punya kesempatan libur yang banyak, di luar hari minggu atau besar. Libur artinya tidak masuk kerja, tapi tetap digaji. Seperti Sendi, liburan semester kemarin hampir sebulan jalan-jalan di Solo. Apa tidak asyik tuh.
Dalam setahun guru punya banyak jatah liburan. Menjelang semesteran, biasanya siswa diliburkan, otomatis gurunya ikut libur. Setelah hasil semester dibagi, siswa libur - gurunya juga - kurang lebih 2 minggu. Selama puasa biasanya jam belajar dikorting atau mungkin ada sekolah yang libur. Nanti saat Idhul Fitri, pasti libur. Lalu setelah EBTA, disusul libur panjang sebulan. Wah, wah, wah. Mana ada profesi yang liburnya sebanyak guru? Enak tenan.
Maka berbahagialah wahai teman-teman guru. Jangan mengeluh karena gaji kecil. karena guru bisa mendapatkan tambahan dari kerja sampingan dan obyekan lain. Tinggal tergantung kemauan, kejelian dan kreativitas masing-masing pribadi. Dengan waktu luang yang dimiliki guru, bisa dimanfaatkan untuk menggali sumber penghasilan lain. Asal jangan keblinger seperti oknum kepala sekolah SD di Jember, yang menggali pendapatan sampingan dengan ngecer totel (Jawa Pos, 12-7-07). Sama saja menggali kubur sendiri tuh. Selain bikin malu nama keluarga, juga mencoreng korps guru. Jangan ditiru! (Tono Soegijanto)

Artikel Terkait

Guru, PNS dan Kerja Sampingan
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email