Salah satu ciri sebuah profesi adalah adanya ikatan kesejawatan, atau yang lebih dikenal sebagai organisasi profesi (OP). OP mempunyai peranan strategis bagi perkembangan profesi. OP adalah kekuatan yang mendukung perjalanan profesi. Boleh dikatakan, kemajuan suatu profesi sangat tergantung pada sepak terjang OP yang menaunginya. Tanpa OP, suatu profesi niscaya sulit berkembang, diakui keberadaannya di tengah masyarakat, dan berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. OP melegitimasi keberadaan sebuah profesi, memberi arah perjalanan profesi, merumuskan kode etik yang melindungi masyarakat dan mencegah praktisinya melakukan mal-praktik. Pepatah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, adalah perumpamaan yang tepat tentang peranan OP.
Bagaimana dengan Bimbingan Konseling (BK) sebagai disiplin ilmu, dan konselor sebagai praktisinya?
Sejauh yang saya ketahui, satu-satunya OP BK adalah IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Bagaimana keberadaannya, sejauhmana peranannya dalam mengembangkan profesi konselor, mungkin tidak banyak yang tahu, bahkan para konselor sendiri.
Menurut informasi dari mas Rissa, IPBI memang sudah almarhum, dan digantikan ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia), yang mempunyai beberapa divisi, seperti IPGI (Ikatan Guru Pembimbing Indonesia), ISKIN (Ikatan Sarjana Konseling Indonesia), dan lain-lain. Berarti masih ada divisi-divisi lainnya. Wah, banyak banget.
Ibarat perusahaan, mungkin ABKIN dikonsepkan sebagai holding company yang menaungi banyak anak perusahaan. Tapi sebagai organisasi profesi, saya sulit bayangkan bagaimana ABKIN bisa bekerja efektif dan fokus pada tujuan masing-masing anak organisasinya. Luar biasa sekali. Sekedar membandingkan dengan disiplin psikologi yang hanya punya satu OP yaitu ISPI (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia), padahal psikologi kita tahu punya banyak cabang ilmu.
Bagaimana ABKIN bisa berperan efektif dengan banyak anak organisasi, tanpa terjadi tumpang-tindih tujuan dan kepentingan antar organisasi di bawah naungannya? Asumsinya antar OP satu dan lain tentu berbeda (keanggotaan, visi, misi dll), sebab kalau satu tujuan kenapa tidak satu nama? Dalam hal pemilihan ketua umum misalnya, pasti terjadi friksi antar OP satu dan lain, dan pasti tidak ada yang mau mengalah, dan merasa calon dari OPnya yang lebih patut. Jangan-jangan nanti lebih ribut rebutan jadi pengurus daripada memikirkan operasional organisasi. Atau hanya aktif menjelang kongres? Wallahualam.
Umpan balik dari teman-teman, ABKIN dikenal dan diketahui keberadaannya oleh sebagian teman-teman kita. Bahkan seorang teman kita mengaku menjadi pengurusnya baik di tingkat propinsi maupun cabang, yaitu mbak Muji. Barangkali memang sebagian besar teman kita di Jawa telah mengenal ABKIN, tapi tidak demikian di luar Pulau Jawa. Mas Sendi di Lampung misalnya, ketika ditanya tentang ABKIN, menjawab singkat, “ABKIN tak kukenal.”
Dari yang mengenal ABKIN, umumnya mengaku keberadaannya cukup signifikan. Di mata mas Pujo, ABKIN bermanfaat sekali, setidaknya bisa untuk sharing antar teman seprofesi. Mbak Indah di Lawang mengaku bisa merasakan langsung keberadaan ABKIN. Misalnya berupa pelatihan atau pengembangan profesi. Begitu juga dengan mas Darobi di Klaten, menilai ABKIN bermanfaat.
Masalahnya, pengakuan itu sebatas klaim individual. Bagaimana dengan pengaruh keberadaan ABKIN terhadap pelaksaan layanan BK di sekolah yang bisa dirasakan oleh para siswa yang menjadi subyek bimbingan? Sudahkah ABKIN mampu membawa angin segar bagi perkembangan BK di sekolah? Faktanya, sampai saat ini BK tetap menjadi momok siswa. Tiga puluh tahun lebih sejak layanan BK hadir di sekolah pada tahun 1970-an, BK tetap jalan ditempat. Konselor masih menjadi polisi sekolah daripada tempat curhat di mata siswa. BK belum mendapat tempat di hati siswanya. Ini sebuah ironi. Keberadaan IPBI dan sekarang ABKIN, belum menyentuh aspek paling mendasar dari layanan BK di sekolah: membantu siswa menyelesaikan masalahnya-masalahnya, justru BK menjadi masalah bagi siswa.
Di masyarakat umum, kiprah ABKIN juga nyaris tak terdengar. Saya sendiri yang setiap hari mengikuti pemberitaan media massa, tak pernah mendengar atau membaca publikasi tentang ABKIN dan kiprahnya, sampai mengetahuinya dari mas Rissa. Saya malah sempat menyangka IPBI masih ada tapi dalam kondisi mati suri.
Dari informasi yang diberikan mas Rissa, saya sempat berpikir bahwa wadah yang tepat bagi teman-teman adalah ISKIN, karena anggotanya murni terdiri dari lulusan BK. Bagaimana peranannya sejauh ini? Apakah kiprahnya cukup signifikan dan manfaatnya dirasakan oleh para konselor sekolah? Tapi rupanya saya keliru berharap terlalu banyak dari ISKIN, karena menurut mas Rissa “Menjalankan roda ABKIN saja sulit, apalagi ISKIN, yang kegiatannya dari seminar ke seminar, pesertanya kalangan akademis dan mampu secara materi, konselor sekolah mana yang mampu?”. Wah, ternyata ISKIN lebih elitis.
Tampaknya, ABKIN lebih popular dari ISKIN. Ini paling tidak dari jawaban beberapa teman yang saya tanya keberadaan OP BK. Sebetulnya sangat disayangkan jika ternyata kiprah ABKIN lebih menonjol dari ISKIN. Karena jika begitu, berarti tidak ada bedanya dengan IPBI dari segi keanggotaan, yakni tidak murni dari dari lulusan BK. Dengan keanggotaan yang heterogen secara keilmuan, sulit diharapkan sebuah OP fokus pada tujuannya dan berkembang menjadi OP yang kuat/mandiri, fungsional dan diakui keberadaannya di masyarakat. Dan kondisi ini – tampaknya - memang terjadi di tubuh ABKIN.
Dengan keanggotaan yang heterogen ada sejumlah masalah yang harus dihadapi. Misalnya menyangkut status keanggotaannya. Apa bedanya guru BK yang berasal dari jurusan BK dan non BK? Jika tidak ada perbedaan status keanggotaan antara keduanya, buat apa harus ada jurusan BK di PT kalau ternyata guru BK bisa diemban oleh sarjana dari jurusan apa saja, asalkan ia bekerja sebagai guru BK di sekolah? Bukankah itu sama saja diartikan bahwa guru BK yang berasal dari jurusan BK dan non BK dianggap mempunyai kemampuan yang sama, sehingga tidak perlu ada pembedaan antara keduanya?
Tentu saja seharusnya dibedakan antara keduanya. ABKIN boleh saja beranggotakan guru BK dengan latar belakang pendidikan beragam, tapi dengan status keanggotaan, hak dan mungkin perlakuan yang berbeda antara guru BK yang dari jurusan BK dan non BK. Misalnya soal sebutan. Guru BK yang dari jurusan BK disebut Konselor sekolah, sedangkan non BK disebut Guru Pembimbing, misalnya. Perbedaan status ini harus diimplementasikan dalam keseharian di sekolah. Istilah guru BK seharusnya ditinggalkan, karena menimbulkan kerancuan di mata siswa, sebab konselor tidak mengajar mata pelajaran (Bimbingan Konseling), tugasnya berbeda dengan guru bidang studi lain. Karena status konselor lebih tinggi dari Guru Pembimbing, di sekolah posisinya pun harus lebih dihargai. Jangan sampai terjadi koordinator/ketua BK di sekolah – yang tugasnya antara lain merumuskan program kegiatan bimbingan bagi siswa - justru dipegang oleh Guru Pembimbing, sementara konselor sekolah justru menjadi “bawahannya”. Ini akan kacau sekali.
Perbedaan latar belakang dari guru BK, disadari atau tidak, akan menimbulkan banyak kendala dalam pengembangan ABKIN maupun profesionalisme guru BK sendiri. Persyaratan yang tidak harus lulusan BK untuk menjadi guru BK (dan anggota ABKIN tentunya), dalam praktiknya, membuat status guru BK sering diposisikan sebagai tempat penampungan bagi guru bidang studi dan guru yang bidang studinya tidak masuk dalam kurikulum baru. Atau dalam istilah Dr Ahmad MPd, yang Ketua I Pengurus Besar ABKIN Palembang, profesi guru BK kerap dijadikan sebagai tempat penyelamat karir sebagian guru. Minimnya kompetensi guru BK, lanjutnya, berujung pada perbedaan persepsi satu sama lain mengenai profesi guru BK (Harian Sumatera Ekspress online, 21-11-2007). Kalau sudah begitu, bagaimana kita mau bicara tentang profesionalisme konselor?
Bagaimana OP BK bisa berkembang secara profesional, jika anggotanya mempunyai perbedaan persepsi tentang profesinya? Jika anggotanya tidak memiliki konsep yang sama tentang profesi BK, tentang visi dan misi yang seharusnya dijalankan?
Saya teringat dengan anekdot tentang sekumpulan orang yang matanya tertutup menghadapi gajah. Ada yang memegang kupingnya, ada yang memegang belalai, ada yang memegang kakinya, dan ada yang memegang ekornya. Masing-masing mendeskripsikan gajah secara sepotong-potong sesuai apa yang dipegang dan dirasakan. Mungkin seperti itu gambarannya, konsekuensi dari heterogenitas keanggotaan ABKIN dalam mendeskripsikan konsep BK di sekolah.
Kurangnya, atau malah ketiadaan, peranan OP yang signifikan inilah menurut saya yang menjadi akar penyebab tidak maksimalnya fungsi BK di sekolah, tidak profesionalnya konselor, dan pada ujung-ujungnya menyebabkan citra BK di sekolah terus terpuruk. Mengapa?
Karena OP merumuskan standar operasional, serta melakukan kontrol dan pengawasan terhadap praktisinya. Jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan, OP akan turun tangan untuk meluruskan. Jika OP BK eksis, pasti tidak akan tinggal diam dengan kondisi yang ada saat ini, dan berusaha keras memperbaikinya. Jadi?
Mungkin sebaiknya ABKIN ataupun ISKIN lebih fokus membina para konselor sekolah swasta, karena di sekolah negeri para konselornya yang berstatus PNS sudah terikat dengan peraturan yang baku. Jika BK di sekolah swasta lebih maju dan citranya lebih positif, maka mau tidak mau yang negeri akan malu jika tidak berbenah. Sedangkan konselor yang berstatus PNS, seperti dikatakan mas Rissa, dengan kerja administratif saja, setiap 2 tahun sudah naik pangkat, lebih sulit diajak kerja keras mengembangkan profesinya.
Hanya dengan OP yang kuat, BK bisa berkembang. OP bisa berkembang dan disegani anggotanya jika berkomitmen tinggi terhadap kemajuan disiplin ilmu yang diembannya. Dan ini perlu pembuktian nyata. Seharusnya kita bisa bisa belajar banyak dari ISPI, karena OP ini yang sejenis dengan BK. Kiprah ISPI sangat nyata, gaungnya tidak sebatas kongres. Salah satu kerja kerasnya adalah memperjuangkan UU Praktek Psikolog. Dan kita harus jujur mengakui, profesi psikolog eksistensinya jauh diakui oleh masyarakat daripada Konselor sekolah yang nota bene sudah di-back up dengan UU Guru dan Dosen. Kenapa? Salah satunya pasti karena psikolog didukung oleh OP yang kuat.
Salah satu buktinya, psikolog yang membuka praktek pribadi wajib memiliki legalisasi dari ISPI. Jika tidak, berarti illegal dan diluar tanggungjawab ISPI. Jika eksistensi OP BK kuat, seharusnya tugas melakukan sertifikasi konselor sekolah menjadi tanggungjawab, atau setidaknya melibatkan peranan OP BK. Menarik bukan?
Peran besar lain yang sangat diharapkan dari OP BK adalah membuat Tes Minat dan Tes Bakat Akademik yang baku. Dengan demikian ketergantungan pada jasa lembaga psikologi bisa dihapuskan. Apa sulitnya merumuskan tes terstandar? Kita pasti memiliki doktor BK dengan konsentrasi Evaluasi dan Pengukuran. Pelaksanaan standarisasi bisa diserahkan pada konselor sekolah untuk uji coba validitas dan reliabilitas tes pada para siswa. Dengan tes produk sendiri, biaya tes bisa ditekan, dan bisa dilakukan pemberian insentif kepada sekolah untuk keperluan kegiatan BK. Bayangkan ada berapa juta siswa di Indonesia yang setiap tahun membutuhkan jasa psikotes, kalikan saja dengan dana yang bisa terkumpul dan digunakan untuk pengembangan BK, jika setiap sekolah wajib menggunakan alat psikotes dari ISKIN?
Mungkin ini cuma sebuah impian?
MENYOAL PERANAN ORGANISASI PROFESI BK
4/
5
Oleh
Admin