KABAR BAIK, KABAR BURUK BK


Ada dua berita tentang BK. Satu kabar baik, satunya kabar buruk. Enaknya yang baik dulu. Ceritanya …

Suatu ketika seorang siswa curhat kepada Pak Ridwan, konselor SMAN 1 Genteng, Banyuwangi, tentang kesulitan keuangan untuk melanjutkan kuliahnya. Tersentuh mendengar keluhan siswanya, Pak Ridwan, 58th, yang berasal dari Malang ini, berupaya mengusahakan agar sang siswa bisa meraih keinginannya ke PTN.
Langkah yang ditempuh adalah menggalang dana dari para alumni dan mengajak para guru SMANSA (sebutan populer SMA 1 Genteng) menjadi orang tua asuh bagi siswa yang tak mampu. Selain itu dilakukan penggalian dana secara spontan dan sukarela yang disebut Serkiler (bantuan dana kaget) dari guru-guru yang jumlahnya mencapai 1,5juta rupiah.
Sejak itulah guru-guru SMANSA setiap tahunnya mengadakan dana serkiler untuk membantu siswa yang ekonominya kurang mampu untuk melanjutkan kuliahnya di PT (Radar Banyuwangi, 26-3-2008).
Perlu diketahui, SMANSA mempunyai reputasi yang terpuji dalam hal jumlah alumninya yang diterima di PTN, baik melalui jalur tes maupun non tes. Termasuk diantaranya, ssst…! istri saya tercinta, Vivin Yohani, yang diterima di Fakultas Teknologi Pangan IPB melalui jalur PMDK.
Boleh ditiru tuh kiat tim BK SMANSA membantu para siswanya.

Kalau tadi tentang BK yang baik, sekarang kabar buruknya. Kejadiannya di sebuah SMPN Palembang. El, konselor sekolah tersebut dilaporkan polisi oleh salah satu orang tua siswa, karena telah menganiaya anaknya.

Persoalannya, OP, yaitu sang siswa wanita, terlambat masuk sekolah. Oleh si konselor, OP dimarahi dan dimaki habis-habisan. Dalam keadaan kelelahan, OP mencoba minum air dalam botol plastik bawaan dari rumah. Si konselor malah memaksa OP meneguk air minum itu sampai habis dalam hitungan ketiga. Sudah pasti OP tidak sanggup melakukannya, dan ini membuat konselor marah dan mendorong kepala OP sampai membentur bangku sekolah. OP pun lemas dan pingsan di kelas. Kejadian tersebut disaksikan teman sekelas OP. (Jawa Pos, 20-4-2008).

Saya tidak berprasangka bahwa kejadian semacam itu telah menjadi praktik umum BK di sekolah. Saya berharap itu hanya sebuah kasus pengecualian. Kalau fungsi BK diterjemahkan dalam tindakan penghakiman terhadap siswa yang bersalah atau bermasalah, maka tidak heran kehadiran BK di sekolah akan menjadi masalah tersendiri bagi siswa. Siswa akan semakin apriori dengan BK, dan dengan demikian BK dipandang sebagai badan peradilan, bukan perlindungan apalagi pendampingan, bagi siswa. Kalau begitu, mendatang Depdiknas tidak usah repot menyiapkan tenaga konselor yang profesional. Angkat saja preman jadi konselor. Gitu aja kok repot.
Bagaimana menurut anda?

Artikel Terkait

KABAR BAIK, KABAR BURUK BK
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email