Guru Malas Menulis Karya Ilmiah


Sekitar 360 ribu guru di Indonesia mentok di golongan IV/a. Hal itu karena guru malas dan kemampuan menulis artikel ilmiah mereka masih rendah. Dosen secara nasional mengalami persoalan serupa, yakni minim memublikasikan karya ilmiahnya.

Dodi Hermawan mengungkapkan hal itu selaku pembicara dalam Seminar Internasional Karya Tulis Ilmiah bagi guru yang berlangsung di Gedung Serbaguna (GSG) Universitas Lampung, Kamis (18-2).

"Menurut saya, persoalannya bukan pada kemampuan. Saya yakin kualitas guru di Indonesia cukup baik. Yang menjadi persoalan adalah kemalasan," kata dia.

Ia mengatakan hal ini dapat terjadi karena regulasi yang ada mengenai guru kini masih menggunakan paradigma lama. Sebaiknya guru juga diberikan jabatan akademik seperti dosen.

"Seperti halnya dosen yang pada setiap kenaikan pangkat mesti menyertakan karya ilmiah maupun hasil penelitiannya, regulasi bagi guru sebaiknya juga demikian," kata dia.

Dalam analisisnya, wajar saja jika guru yang kini berada di golongan IV/a menjadi sulit naik ke golongan IV/b karena hambatan penulisan artikel ilmiah. Setelah sekian lama menjadi guru, kemudian ditambah usia yang menua, mereka baru dituntut untuk menulis artikel ilmiah.

Mengenai penulisan artikel ilmiah, Dodi memberikan kiat sederhana bagi guru. "Caranya adalah memulainya dari sebuah fenomena," kata dia.

Ia mengatakan biasanya seseorang itu mengawali karya ilmiah dari judul dan mengalami kesulitan dalam mencari judul. "Akibatnya, tulisan mereka mentok di judul," ujarnya.

Untuk itu, Dodi menyarankan sebaiknya guru memulai dari fenomena yang dia amati sendiri di lingkungan pendidikannya. Dari fenomena yang guru amati, mereka dapat menemukan masalah. "Nah, dari perumusan ilmiah inilah pemilihan judul dapat dilakukan," kata dia.

Seminar internasional ini dilaksanakan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, diikuti oleh 800-an guru se-Provinsi Lampung. Selain Dodi, hadir pula sebagai pembicara, Ahman Sya, rektor Arsy Internasional Bandung; dan Marita Ceel, seorang konselor pendidikan asal Jerman.

"Agar kegiatan ini tak hanya menjadi sekadar seminar, kami menggunakan mekanisme tugas mandiri. Nantinya, sertifikat yang mereka terima akan dilampirkan hasil tugas mandiri untuk proses sertifikasi. Dengan demikian, poinnya akan semakin besar," kata dia.

Namun, salah satu pengurus pusat Ikatan Alumni UPI Bandung ini mengatakan jangan sampai kegiatan guru mengikuti seminar dan melakukan penulisan ilmiah hanya untuk mengejar sertifikat dan naik jabatan saja.

"Saya kira hasil penelitian itu banyak memberi manfaat, menemukan kebenaran ilmu pengetahuan, dan meningkatkan kompetensi. Apabila itu adalah hasil penelitian dari tindakan di kelas, manfaatnya jauh lebih besar lagi," kata dia.

Dodi mengatakan agar guru tak mentok jabatan, sebaiknya kebiasaan menulis dan meneliti harus dilakukan sejak awal ketika ia menjadi guru. Sehingga, ketika tiba saatnya naik jabatan dari golongan IV/a ke IV/b, kendala menulis tak lagi menjadi persoalan.


MENELISIK KENAIKAN PANGKAT GURU DARI IV/A S.D IV/E

Tingkat kenaikan jabatan fungsional guru ke IV/b sangat rendah, rata-rata 1% sampai 2% saja, disinyalir penyebabnya keengganan guru membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK), lebih ekstrim lagi guru gol.IV/a banyak yang tidak mampu membuat PTK ?
Pertanyaanya apakah betul banyak guru yang tidak mampu membuat PTK ? ini hal yang mutahil ! nah kalok begitu kenapa banyak guru enggan membuat PTK yang terkait dengan kenaikan pangkat ke IV/b ? Penyebabnya adalah biaya yang dikeluarkan untuk naik ke IV/b tidak seimbang dengan hasil yang didapat dari kenaikan pangkat tersebut.

Dalam hitung-hitungan, untuk breakevenpoint (kembali modal) membutuhkan waktu 2 tahun 5 bulan, dalam kebanyakan pengurusan kenaikan pangkat ke IV/b membutuhkan biaya 3 juta rp sampai dengan 4,5 juta rp ( ini sudah menjadi rahasia umum ) sedangkan kenaikan jagi pokok dari IV/a ke IV/b hanya 102.800 untuk masa kerja 18 tahun 3.000.000/102.800 = 29,18287938 bulan baru bisa pulang modal,(lihat tabel jagi poko PNS tahun 2009 ) selanjutnya naik lagi ke IV/c biaya lagi dan seterus sampai ke IV/e biayanya semakin besar.

Dari gambaran di atas jelas banyak guru yang malas untuk naik pangkat sampai ke IV/e, paling tinggi ya itu IV/a, bukan tidak dapat membuat PTK, karena PTK juga dapat ditolak oleh tim penilai, PTK yang baik biasanya yang sesuai dengan selera tim penilai, disini guru diharuskan (kalau tidak dapat dikatakan dipaksa )konsultasi dengan tim penilai yang kadang kala membutuhkan waktu, tenaga pikiran dan biaya yang cukup banyak, apalagi tim penilai merupakan sindikat pengurusan kenaikan pangkat dalam artian tidak transparan. Yang pasti untuk ngurus kenaikan pangkat ke IV/b guru banyak meninggalkan tugas pokoknya sebagai pengajar dan pendidik

Apa Kontribusi Pangkat Tinggi untuk Seorang Guru

Di dalam masyarakat tidak terekspresikan
Kenaikan penghasilan tidak signifikan
Tingkat profesional seorang guru tidak diukur dari tingginya pangkat ( apalagi PTK di buatkan oleh tim penilai )

Jadi jelas mengapa banyak guru malas ngurus kenaikan pangkat dari IV/a ke IV/b ?!
Kata kebanyakan gak cucok. S1 bila diterima PNS jagi pokoknya Rp 1.655.800,- dengan pengalaman kerja 0 tahun, sedangkan buat PTK sulitnya hampir sama dengan buat skripsi S1 hanya dihargai Rp 102.800,- untuk masa kerja 18 tahun, nah kan opo tumon.
(kontributor kalirejo lpg )

Artikel Terkait

Guru Malas Menulis Karya Ilmiah
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email