QUO VADIS LULUSAN SMA

Tes masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) merupakan ritual tahunan yang selalu ditunggu oleh para siswa lulusan SMA dan sederajat. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini ada kecenderungan penurunan jumlah peserta tes, namun secara nasional orientasi masyarakat Indonesia belum bergeser. Sampai saat ini, melanjutkan ke PT (perguruan tinggi), khususnya PTN, masih menjadi pilihan utama lulusan SMA.

Survei Deteksi pada tahun 2005 menunjukkan, terdapat 93,4% siswa yang berniat melanjutkan kuliah setamat SMA dan hanya 6,6% yang tidak melanjutkan (Jawa Pos, 23-5-2005). Bahkan, dalam survei lain disebutkan, sebanyak 24% mahasiswa ingin mengikuti tes masuk PTN lagi (Jawa Pos, 4-7-2005). Data tersebut menyiratkan bahwa daya magnet PT masih sangat kuat di mata siswa SMA khususnya dan masyarakat kita pada umumnya.

Tentu ada banyak alasan mengapa PT masih menjadi primadona lulusan SMA. Salah satunya, konsep kurikulum SMA memang tidak didesain untuk menyiapkan anak didiknya bekerja setelah lulus. Sebagaimana siswa SD akan melanjutkan ke SMP, dan lulusan SMP melanjutkan ke SMA, maka lulusan SMA akan meneruskan ke PT. Ini adalah pola pikir masyarakat kita pada umumnya.

Selain itu, PT menjadi tujuan utama lulusan SMA karena pekerjaan yang tersedia bagi mereka dianggap tidak menjanjikan prospek karir yang memuaskan. Masyarakat mempunyai keyakinan, setidaknya harapan, bahwa belajar di PT akan memudahkan mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Semakin maju suatu masyarakat semakin dibutuhkan tenaga kerja dengan keahlian khusus dan kemampuan tinggi untuk mengisinya. Ini berarti belajar sampai ke PT. Lihat saja iklan lowongan kerja di surat kabar, jabatan yang tinggi selalu mensyaratkan lulusan PT. Maka mudah dimengerti jika lulusan SMA begitu antusias memasuki PT.

Di mata siswa dan orang tua, belajar di PT seakan menjadi kartu truf untuk masa depan yang cerah, sementara mereka mengabaikan kenyataan bahwa tidak semua siswa memenuhi kriteria kelayakan untuk menjadi warga kampus. Perguruan Tinggi seharusnya diisi oleh mereka yang berbakat akademis dan mempunyai minat belajar yang tinggi, agar produk yang dihasilkan terjamin kualitasnya, sedangkan kondisi para cama (calon mahasiswa) sangat heterogen dan tidak semuanya memenuhi syarat kelayakan untuk menjadi warga kampus.

Empat Kuadran Cama

Di antara sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam proses belajar, terdapat 2 faktor yang kontribusinya dianggap paling signifikan, yaitu potensi akademis atau yang lebih popular disebut inteligensi dan minat belajar. Kedua faktor ini sering disebut sebagai variabel utama yang secara langsung mempengaruhi hasil belajar seseorang. Karena itu bagi para cama kedua faktor ini selalu dianjurkan agar diperhitungkan dalam memilih jurusan di PT.

Dengan mempertimbangkan potensi akademis dan minat belajar sebagai faktor signifikan, maka secara garis besar cama yang akan memasuki PT dapat dipetakan dalam empat kuadran berikut.



Kuadran pertama terdiri atas cama yang memiliki potensi akademis tinggi serta minat belajar yang tinggi pula. Mereka disebut kelompok cama ideal. Jumlah kelompok ini tidak banyak, antara 5-10% dari seluruh cama. Inilah cama paling potensial. Bagi mereka tidak sulit mendapatkan kursi kuliah pada jurusan dan PT favorit, sebagian diantaranya bahkan diterima tanpa melalui prosedur tes masuk.

Calon mahasiswa yang berada pada kuadran kedua menyimpan potensi akademis yang tinggi, namun masalahnya, minat belajarnya rendah. Hal ini terjadi, antara lain karena adanya ketidaksesuaian antara jurusan yang dipilih dengan minat sebenarnya. Banyak cama yang terpaksa memilih jurusan sesuai dengan keinginan orang tua, yang belum tentu sesuai dengan minatnya. Selain itu, minat belajar yang rendah juga bisa terjadi pada cama yang mengalami “salah jurusan”. Pada jurusan atau PT favorit yang tingkat persaingannya sangat ketat, tidak sedikit dijumpai mahasiswa dengan kemampuan otak di atas rata-rata yang mengalami kegagalan studi, karena mereka tidak cocok dengan mata kuliah yang dipelajarinya. Mengapa bisa tejadi kasus demikian? Sebuah penelitian menyebutkan bahwa minat cama terhadap suatu jurusan cenderung lebih tinggi daripada pengetahuannya tentang jurusan tersebut. Tidak heran banyak diantaranya yang merasa kecewa setelah mengetahui bahwa jurusan yang dipilih ternyata tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan semula. Akibatnya minat belajarnya menurun drastis.

Kuadran ketiga dihuni kelompok cama yang mempunyai minat belajar yang tinggi, namun kemampuan akademisnya kurang atau tergolong rata-rata saja. Mereka bisa disebut di ambisius. Dengan potensi otak yang pas-pasan mereka mencoba mengadu nasib di PT. Mereka meyakini, dengan minat dan motivasi belajar yang tinggi bisa mengatasi kekurangan dalam hal kecerdasan. Jika jurusan yang dipilih cukup realistis, mereka mungkin bisa menyelesaikan studi dengan hasil cukup baik, sebaliknya jika jurusan yang dipilih menuntut kemampuan akademis yang tinggi, resiko kegagalan studi cukup terbuka.

Penghuni kuadran keempat adalah cama yang selain tidak berbakat secara akademis, juga tidak mempunyai minat belajar yang memadai. Apa predikat yang pantas untuk kelompok ini, kalau bukan bonek? Para bonek ini umumnya tidak mempunyai tujuan yang jelas. Mereka hanya ikut arus. Karena sebagian teman-temannya kuliah, mengapa saya tidak? Begitu jalan pikirannya. Bagi kaum bonek, kuliah itu sebuah keharusan dan ada gengsi tersendiri dengan menyandang status mahasiswa.

Berdasarkan empat kuadran cama di atas, dapat diprediksi bahwa kelompok cama yang berada pada kuadran pertama mempunyai peluang berhasil paling besar. Mereka umumnya menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya, atau sedikit lebih cepat, dengan IPK di atas 3 atau bahkan berpredikat cum laude. Berkat prestasi gemilangnya, tidak sulit bagi kelompok ini mendapatkan pekerjaan yang baik. Jika berminat pada bidang akademik, mereka bisa menjadi dosen dan mendapat tawaran beasiswa ke S2 atau merintis karir di perusahaan sebagai profesional yang berhasil.

Bagi cama kuadran kedua dan ketiga peluangnya tergolong fifty-fifty, sedangkan penghuni kuadran keempat berpotensi paling besar mengalami kegagalan studi, atau kalaupun lulus, membutuhkan waktu yang lebih lama.

Kendala Sarjana

Bagi penghuni kuadran pertama, PT adalah tempat yang ideal. Tetapi bagi penghuni kuadran lainnya, terutama ketiga dan keempat, barangkali perlu berpikir lebih realistis untuk melanjutkan ke PT. Biaya kuliah di PT yang semakin mahal, seharusnya menyadarkan masyarakat untuk mengkaji ulang relevansi dan urgensi belajar di PT. Banyak orang tua yang all out berkorban harta benda demi masa depan sang anak, namun menuai kekecewaan karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Tanpa perhitungan yang matang, belajar di PT adalah investasi yang rugi.

Pemikiran bahwa menjadi sarjana lebih terhormat, lebih mudah mendapatkan pekerjaan dan menjamin masa depan adalah bagaikan fatamorgana. Bagi kebanyakan orang, kesempatan belajar di PT seringkali hanya merupakan proses menunda pengangguran. Ketika seorang sarjana menjalani prosesi wisuda yang merupakan babak akhir dari proses belajar di PT, pada saat itu pula hitungan mundur menjadi pengangguran dimulai. Keceriaan segera berubah menjadi kekecewaan setelah pintu-pintu lowongan kerja seakan enggan terbuka. Mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan menjadi pengangguran untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Setiap tahun jumlah pengangguran sarjana terus menumpuk dan angkanya pasti lebih besar dari statistik resmi. Jauh lebih banyak lagi yang disebut pengangguran terselubung. Yaitu yang bekerja tidak sesuai keahliannya, gaji yang tidak tetap serta di bawah standar.

Ada sejumlah penjelasan mengapa lulusan PT sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat dan jenis pendidikannya. Pertama, secara kuantitas kebutuhan tenaga kerja lulusan PT memang lebih kecil dibanding lulusan pendidikan di bawahnya. Sesuai dengan data di Depnaker, secara nasional perbandingan kesempatan kerja di Indonesia saat ini adalah 6 untuk SMA, 3 untuk D3 dan hanya 1 untuk sarjana (Jawa Pos, 16-7-2004). Ini artinya, untuk setiap 6 orang lulusan SMA yang diterima bekerja, hanya terdapat 3 orang lulusan D3 dan 1 orang sarjana yang mendapat kesempatan bekerja. Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin kecil peluang untuk diterima bekerja. Ini pil pahit yang barangkali tak pernah terpikirkan oleh para orang tua dan cama.

Sesuai dengan struktur ketenagakerjaan yang berbentuk piramida, semakin tinggi suatu jabatan semakin sedikit jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Pada sebagian besar sektor pekerjaan, kebutuhan akan tenaga kerja yang berlatarbelakang pendidikan tinggi secara signifikan lebih kecil dibandingkan tenaga kerja yang berpendidikan lebih rendah. Hampir semua sektor pekerjaan yang mempekerjakan ratusan hingga ribuan tenaga kerja, hanya dibutuhkan belasan tenaga kerja lulusan PT untuk jabatan tertentu, sedangkan mayoritas pekerja umumnya hanya berpendidikan SMA atau lebih rendah.

Kedua, persyaratan kerja untuk lulusan PT sangat kompetitif. Survei yang pernah penulis lakukan terhadap iklan lowongan kerja untuk lulusan SMA dan PT pada harian Jawa Pos menjelaskan hal tersebut. Dalam hal pengalaman kerja, terdapat 51% lowongan kerja untuk lulusan SMA yang mensyaratkan calon yang telah mempunyai pengalaman kerja tertentu, dibandingkan 72,4% untuk lulusan Diploma dan 80% untuk sarjana. Pengalaman kerja yang dituntut dari tenaga kerja lulusan SMA adalah 1 tahun (15,5%) dan 2 tahun (12,6%), untuk lulusan Diploma adalah 2 tahun (27,5%) dan 1 tahun (15,5%), sedangkan untuk sarjana adalah 2 tahun (25,7%) dan 3 tahun (18,2%). Berarti semakin tinggi pendidikan, persyaratan pengalaman kerja yang dituntut semakin berat.

Dalam hal penguasaan keterampilan, terdapat 13% lowongan kerja untuk lulusan SMA yang mensyaratkan keterampilan komputer, dibandingkan 46,2% untuk lulusan Diploma dan 39,5% untuk sarjana. Selain itu, terdapat 4,7% lowongan kerja untuk lulusan SMA, berbanding 36% untuk lulusan Diploma dan 39,5% untuk sarjana yang mensyaratkan calon yang mampu berbahasa Inggris. Kesimpulannya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin berat dan ketat persyaratan yang dituntut untuk mengisi lowongan kerja tertentu.

Ketiga, pekerjaan yang tersedia untuk lulusan PT di pasar tenaga kerja belum tentu pekerjaan yang diminati, sebaliknya pekerjaan yang diminati belum tentu tersedia secara memadai dan biasanya tingkat persaingannya sangat kompetitif karena peminatnya banyak. Umumnya lulusan PT ingin bekerja pada sektor formal. Kenyataannya, pekerjaan sektor formal yang banyak ditawarkan bukanlah jenis pekerjaan yang menarik bagi sebagian besar lulusan PT. Hasil survei penulis menyebutkan, pekerjaan yang paling banyak ditawarkan untuk lulusan PT pada iklan lowongan kerja harian Jawa Pos adalah sales/marketing (22%). Jenis pekerjaan ini selalu tersedia, tetapi sering kekurangan peminat.

Keempat, adanya ketergantungan lulusan PT pada pasar kerja sektor formal. Mayoritas lulusan PT mengincar pekerjaan sektor formal. Sesuai dengan tingkat pendidikannya, seorang sarjana cenderung selektif memilih pekerjaan,yang dibidik adalah jenis pekerjaan kerah putih alias kantoran, termasuk PNS. Konsekuensinya, lapangan kerja untuk lulusan PT menjadi terbatas. Adalah kenyataan bahwa lulusan PT lebih cenderung menjadi pegawai daripada bekerja mandiri atau berwiraswasta, sedangkan yang bukan sarjana biasanya tidak pilih-pilih pekerjaan; yang penting bisa kerja. Sebuah penelitian menyimpulkan semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin cenderung bekerja pada pihak lain daripada bekerja mandiri atau berwiraswasta. Karena itu tidak aneh banyak benih-benih kewirausahaan yang justru tumbuh pada orang yang berpendidikan lebih rendah. Seringkali kita bisa menjumpai orang-orang yang menjadi pengusaha karena mereka tidak memiliki akses untuk bekerja di kantor.

Kafi Kurnia, seorang konsultan marketing, pernah menanyakan kepada seorang konglomerat tentang kisahnya menjadi pengusaha sukses. Dijawab oleh sang konglomerat, bahwa ia menjadi pengusaha karena terpaksa. Pendidikannya rendah sehingga tidak mungkin baginya untuk bekerja di kantor. Satu-satunya pilihan yang tersedia baginya adalah bekerja sendiri. Seandainya ia seorang sarjana, barangkali ceritanya menjadi lain.

Faktanya, daya tampung lapangan kerja sektor formal hanya sekitar 25%, sebagian besar sisanya justru didominasi sektor informal, antara lain terdiri dari PKL dan berbagai usaha kecil yang mandiri yang keberadaannya seringkali diremehkan. Padahal sektor informal ini menyimpan potensi besar yang bila berhasil digali, prospeknya sangat baik. Banyak usaha kecil yang akhirnya berkembang menjadi bisnis dengan skala yang patut diperhitungkan.

Menjadi sangat ironis bila para lulusan PT yang memiliki keunggulan pendidikan dan wawasan cenderung menjadi pegawai, sementara mereka yang bukan sarjana terpaksa menjadi wirausahawan karena tidak bisa bekerja di kantor. Maka yang terjadi adalah banyak pengusaha yang berlatar belakang pendidikan rendah yang membawahi para karyawan yang rata-rata sarjana. Contoh seperti ini mudah ditemui di mana saja. Agaknya benar seperti yang dikatakan Robert T. Kiyosaki dalam bukunya “Rich Dad, Poor Dad,” bahwa sistem sekolah memang dirancang untuk menghasilkan karyawan yang baik ketimbang menghasilkan seorang pengusaha.

Di PT mahasiswa mempelajari keterampilan profesional untuk menjadi insinyur, ahli hukum, ekonom, programer, jurnalis dan sebagainya. Setelah lulus mereka akan sibuk mencari pekerjaan yang aman dan terjamin daripada berpikir merintis usaha sendiri. Di Amerika Serikat ada pemeo, lulusan terbaik PT ternama menjadi profesor atau profesional dalam bidangnya, sedangkan low-achievers dan drop-out yang berjiwa enterpreuner, mendirikan perusahaan yang menggaji para lulusan terbaik tersebut. Bill Gates yang drop-out dari Harvard dengan Microsoftnya, Henry Ford pendiri Ford Motor Co., Ted Turner pendiri CNN, dan Ralph Lauren pendiri Polo adalah sebagian di antaranya.

Missmatching

Salah satu kendala bagi lulusan PT dalam menembus pasar kerja berkaitan dengan rendahnya kualitas mereka sendiri. Para pakar menyebutkan, ada faktor missmatching dalam ketenagakerjaan kita. Yaitu tingginya angka pengangguran terdidik di satu sisi, dan sulitnya perusahaan serta dunia usaha mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan, di sisi lain.

Bahwa lapangan kerja sangat terbatas itu betul, tetapi kesempatan kerja selalu ada, yang langka adalah tenga kerja dengan kualifikasi tertentu. Iklan lowongan kerja mengisyaratkan bahwa perusahaan membutuhkan tenga kerja dengan kualifikasi tinggi – sarjana plus. Indeks Prestasi tinggi, menguasai komputer, bahasa asing secara aktif, berpengalaman dalam bidang sejenis, adalah syarat-syarat mendasar yang sering dituntut dari tenaga kerja sarjana. Dan ini tidak mudah dipenuhi oleh sarjana yang baru lulus. Minimal mereka belum mempunyai pengalaman kerja, lalu IPK sedikitnya 3 tentu menjadi faktor kesulitan tersendiri. Apalagi sebagian besar sarjana kita lemah dalam bahasa Inggris, dan hanya sebagian kecil yang familiar dengan komputer. Kondisi ini secara tidak langsung mencerminkan rendahnya kualitas lulusan PT. Sebuah survei menyebutkan, dari 100 sarjana baru, hanya 2 orang yang diterima bekerja. Faktor utama kegagalan mereka karena kekurangsiapan dalam menghadapi dunia kerja (Jawa Pos, 12-5-2000).

Lalu, mayoritas yang kalah bersaing berebut pasar kerja primer, terdegradasi dalam kompetisi pada level di bawahnya. Di sini kembali terjadi missmatching. Pada lowongan yang hanya mensyaratkan lulusan SMA-sederajat, banyak dibanjiri pelamar sarjana. Tentu saja perusahaan mendapat keuntungan dengan memilih pekerja sarjana, tetapi digaji setara SMA. Pengalaman penulis yang pernah bekerja sebagai staf personalia sebuah industri menunjukkan, di antara ribuan buruh harian yang bekerja di perusahan tersebut, banyak yang merupakan lulusan PT. Mereka adalah lulusan PT yang frustrasi setelah sekian lama gagal mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka melamar dengan ijasah SMA, karena ijasah sarjananya yang diraih dengan banyak pengorbanan, ternyata tidak menjamin mereka mendapat pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya.

Dengan menyimak kondisi obyektif seperti di atas, masih layakkah PT menjadi satu-satunya tujuan bagi lulusan SMA? Masihkah menjadi sarjana menjadi obsesi yang, bagaimanapun juga, harus diwujudkan dengan segala bentuk pengorbanan – tenaga, waktu dan terutama biaya yang besar?

Epilog

Tujuan sekolah adalah untuk bekerja. Banyak jalan menuju sukses, dan PT hanya salah satu – bukan satu-satunya – jalur yang bisa dipertimbangkan bagi lulusan SMA. Keberhasilan dalam kehidupan tidak semata ditentukan oleh gelar akademis. Banyak orang-orang yang bukan sarjana yang hidupnya relatif berhasil, dan banyak orang yang sukses bukan karena pendidikannya. Tidak sedikit para artis, seniman, olahragawan, dan pengusaha yang sukses, walaupun tidak berpendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi adalah investasi mahal yang hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Pendidikan tinggi, walaupun penting, tetapi tidak seharusnya setiap lulusan SMA berkehendak untuk memasukinya. Hanya sebagian lulusan SMA yang cocok menjadi warga kampus, sedangkan sebagian besar lainnya lebih baik memilih program pendidikan dan pelatihan yang fokus pada penguasaan keahlian dan keterampilan yang bisa diandalkan untuk bekerja daripada menjadi sarjana yang mertanggung serta menambah jumlah pengangguran terdidik. (Tono Soegijanto)

Artikel Terkait

QUO VADIS LULUSAN SMA
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email