Kedua, saya ingin mengungkapkan bahwa sejatinya apa yang dikemukakan teman-teman dalam tulisan itu, bukanlah sesuatu yang kontroversial, juga bukan hal baru, bukan pula rahasia “dapur perusahaan” yang mesti ditutup-tutupi. Karena, mau tak mau, suka tak suka, citra negatif konselor sekolah telah menjadi pengetahuan publik. Saya tidak sependapat dengan penilaian teman kita bahwa itu sama saja membuka aib kita. Bukan aib. Keburukan yang ditutupi tidak akan membuat keadaan menjadi baik. Itu adalah tantangan untuk memperbaiki diri.
Kondisi yang tidak ideal saat ini menjadi PR besar bagi para konselor sekolah untuk melakukan perubahan yang mendasar. Langkah awal adalah membuka diri. Mengakui bahwa memang ada yang tidak pas dalam praktik bimbingan konseling di sekolah pada umumnya, selanjutnya menghimpun kemauan keras dan sumber daya upaya untuk berbenah. Sanggupkah?
Secara pribadi, sekalipun tidak terjun dalam dunia pendidikan, saya terus mengamati dan meminati perkembangan pendidikan di sekolah, khususnya pelaksanaan Bimbingan dan Konseling (BK). Saya selalu penasaran mendapati kenyataan dari waktu ke waktu BK di sekolah tidak menjadi lebih berkembang. Dari awal saya kuliah sampai saat ini, citra BK dan konselor sekolah tidak berubah, tetap negatif. Mengapa? Apa yang salah? Begitu sulitkah menjabarkan konsep bimbingan dalam praktik di lapangan?
Indikator kekurangberhasilan –untuk tidak menyebut kegagalan- layanan BK di sekolah adalah belum diterimanya BK secara sepenuh hati oleh seluruh komponen sekolah sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan di sekolah. Penerimaan BK di sekolah masih setengah hati. Meminjam istilah seorang konselor di dalam artikel blogsnya, BK di sekolah adalah anak tiri. Entah berlebihan atau memang begitu senyatanya, saya melihat istilah itu sebagai kristalisasi pengalaman beliau. Mungkin subyektif, tapi tidak melenceng jauh dari kenyataan.
Saya sering bertanya-tanya, seberapa besar peranan dan sumbangsih BK dalam proses pendidikan di sekolah? Dari pengamatan saya, peran BK memang kecil, setidaknya yang nampak dari luar. Saya mempunyai beberapa catatan berikut:
*Dalam berbagai pencapaian prestasi sekolah, tidak pernah saya dengar adanya pengakuan tentang peran BK di balik prestasi tersebut. BK sepertinya tidak punya andil terhadap prestasi sekolah. Tapi sebaliknya, jika terdapat kasus pada siswa di suatu sekolah, yang disalahkan adalah BK. Masyarakat akan mengkambinghitamkan BK jika siswa di suatu sekolah terlibat perkelahian, keluyuran pada jam pelajaran, merokok, membolos, dsb. Pokoknya, kalau siswa nakal, melanggaran peraturan, dan tidak disiplin, BK yang harus siap menjadi kambing hitam.
*Untuk menarik minat siswa belajar di suatu sekolah, maka yang dipromosikan oleh sekolah adalah megahnya gedung sekolah, kelengkapan laboratorium, perpustakaan, kegiatan ekstra kurikuler yang menonjol, unit usaha seperti koperasi, dan tenaga pendidik (guru) yang berkualitas. Layanan BK? Nggak ada tuh, yang menganggap layanan BK bisa menjadi daya tarik calon siswa memasuki sekolah tersebut.
*Secara jujur kita harus mengakui pada umumnya siswa lebih respek pada guru bidang studi daripada konselor. Saya yakin tidak ada satu siswa pun yang mau mendapat nilai jelek pada bidang studi yang paling tidak disukai sekalipun. Sebaliknya tidak ada satu siswa pun yang senang hati ketika dipanggil ke ruang BK, sekalipun ia merasa tidak ada yang salah pada dirinya. Lebih buruk lagi, minim sekali siswa yang datang berkonsultasi atas kesadaran pribadi. Tanya, kenapa?
Memang tidak adil melimpahkan semua kekurangan dalam pelaksanan BK pada faktor konselor semata. Banyak faktor terlibat di dalamnya yang diluar kemauan dan kemampuan konselor untuk berbuat banyak. Konselor bisa berdalih, bagaimana bisa berperan secara professional kalau sarana tak memadai, dana tak cukup, tenaga konselor terbatas, guru lain tak mendukung, sistem sekolah tak menunjang, dsb, dsb. Tapi kalau hanya melempar kekurangan pada pihak lain, tidak akan memperbaiki keadaan.
Sebaik apa sebuah konsep, kalau tidak dijalankan dengan benar, hasilnya pasti jauh dari harapan. Begitu juga BK, baik-buruknya tergantung pada para pelakunya. Kalau teman-teman konselor tidak termotivasi untuk berperan maksimal, hasilnya tentu tidak memuaskan pihak lain yang berkepentingan dengan layanan BK.
Saya kira, seburuk apapun kondisinya, faktor paling menentukan berhasil-tidaknya BK di sekolah adalah konselor itu sendiri. Ibarat pertunjukan, panggung layanan BK di sekolah aktor utamanya adalah konselor, lain-lain adalah aktor pendukung dan aktor pembantu. Kalau aktor utamanya bermain tidak bagus, tidak siap berperan maksimal, jangan salahkan lainnya ikut memperburuk permainan sang aktor utama. Kalau kinerja konselor sendiri tidak meyakinkan, tidak mampu membuat siswa merasa membutuhkan BK, jangan salahkan siswa, guru, kepsek dan masyarakat menilai BK itu tidak ada manfaatnya.
Kita tidak bisa mengubah begitu saja agar pihak lain tiba-tiba menjadi bersikap positif terhadap BK, tapi minimal sebagai konselor kita harus bisa menunjukkan jati diri seorang konselor yang seharusnya. Konselor jangan terjebak dalam lingkaran setan peranan yang justru memperburuk dan memperkuat citra negatif BK yang terlanjur terbentuk. Konselor harus mengikis citra negatif BK di mata siswa dengan menunjukkan citra pribadi konselor yang hangat, siap menolong, dan tidak menghukum. Konselor harus bersikap pro-aktif terhadap siswa. Dalam menghadapi kasus siswa, konselor harus berpegang pada prinsip unconditional positive regard. Fokus pada pribadi siswa, bukan kesalahannya. Menggali masalahnya, membuat siswa menyadari kesalahannya, bukan menghukum kesalahannya.
Mungkin banyak teman-teman kita yang keberatan ketika diminta menangani siswa yang melanggar tata tertib sekolah, dengan alasan itu bukan tugas BK. Tapi sulit menolak, karena yang menyuruh orang pertama di sekolah. Bagi saya sih, gak masalah, yang penting kita tegaskan pada kepala sekolah, tugas kita bukan menghukum siswa, tapi membantu menangani masalahnya. Penentuan hukuman, kalau siswa memang perlu dihukum, kita serahkan sekolah yang memutuskan.
Selama konselor tidak berperan sebagai polisi sekolah, citra BK terselamatkan. Celakanya, justru citra sebagai polisi sekolah ini lebih menonjol daripada sebagai teman- bicara. Kebetulan saya punya dua contoh mutakhir. Yang pertama, seorang Guru BP di sebuah SMP Maros, Sulawesi, menampar sisiwinya di depan kelas karena tersinggung dengan ucapan sang siswi (dikutip dari harian Tribun Timur, 23/12/06 di internet). Kedua, Guru BP di sebuah SMAN Bojonegoro melakukan razia gambar/video porno dalam HP siswanya (Jawa Pos, 3/08/07).
Cukup dua contoh, semuanya tentang aksi konselor yang tidak simpatik. Mencari berita yang positif tentang aksi konselor tampaknya lebih sulit. Karena itu kalau kita mau menegakkan eksistensi BK yang benar, kita mulai dari diri sendiri. Jangan menyalahkan pihak lain selama kita sendiri belum baik dan benar melangkah. Ibaratnya itu, buruk muka cermin dibelah. Sebegitunya? (Tono Soegijanto)
BK DI SEKOLAH; BURUK MUKA CERMIN DIBELAH
4/
5
Oleh
Admin