Sebuah pertanyaan, “menurut anda apa hambatan terbesar dalam pelaksanaan program Bimbingan Konseling (BK) di sekolah?”, diajukan ke 14 teman kita, dan hanya 8 orang yang bersedia menjawab via sms.
Menariknya, hampir semua teman kita sepakat bahwa faktor konselorlah biang keladi kurang berhasilnya pelaksanaan BK di sekolah. Sebuah jawaban jujur yang patut diapresiasi. Sebab ada kecenderungan sebuah korps cenderung membela diri dan tidak mau dipersalahkan atas kekurangan atau kesalahan yang mungkin terjadi.
Apa sih sebenarnya kekurangan para konselor sekolah?
Mas Puji Irianto Langgeng dengan antusias mengatakan, hambatan utama pelaksanaan BK di sekolah terletak pada kompetensi konselor yang kurang, sehingga profesionalitas kerjanya pun tidak terlihat. Menurutnya, sangat langka seorang konselor yang memahami kedudukan dan fungsinya dengan benar, sehingga mereka miskin kreativitas dan inovasi. “Banyak yang masih bingung dengan tugasnya sendiri, sehingga mereka tampil seadanya. PAYAH!”, pungkas Pujo, yang menulis “payah” dalam huruf besar.
Pendapat ini senada dengan yang dilontarkan oleh mas Anis di Kartasura, yang melihat banyak konselor yang tidak profesional dan bonafid, sehingga tidak dipercaya oleh pihak sekolah. Mungkin dari kacamata Anis yang tidak berkacamata ini, banyak dijumpai konselor sekolah yang kinerjanya tidak meyakinkan sehingga pihak sekolah meragukan kemampuannya.
Mbak Muji di Karanganyar juga menyoroti kinerja konselor yang tidak maksimal, padahal menurutnya, “Kalau kita mau profesional semua perangkat, baik sarana maupun kebijakan pemerintah sudah cukup untuk bekal kerja secara profesional.”
Ketidakprofesionalan konselor itu oleh Mas Rissa di Pekalongan dijlentrehkan sebagai “terjebak dalam rutinitas dan pekerjaan administratif dan sekadar partisipatif.” Selain itu Rissa juga menyebut kekurangan mendasar konselor sekolah, seperti tidak menguasai tehnik konseling, tidak kreatif dan inovatif. Beliau tidak asbun lo, karena telah membuktikannya lewat tesis S2-nya, yang membahas kinerja konselor sekolah yang buruk dan hasilnya sangat signifikan. Mas Rissa berjanji akan mempublikasikan tesisnya tersebut di Ikabela82.
Mengapa konselor tidak profesional? Mengapa kinerjanya – di mata sejawat – dianggap memble?
Faktornya pasti banyak. Salah satunya, barangkali, menyangkut etos kerja yang rendah. Menurut Muji, konselor sekolah tidak bekerja maksimal karena dengan kerja santai saja oleh atasan tidak ada teguran. Kalau kerja seadanya sudah dianggap baik, pasti tidak tertantang untuk bekerja lebih baik. Artinya motivasi berprestasi konselor sekolah pada umumnya rendah.
Faktor lain terkait dengan rasio konselor:siswa yang tidak ideal. Ini pendapat Mujiono di Blora. Lebih parah lagi, tidak semua konselor berlatar belakang Bimbingan Konseling, seperti disuarakan oleh Mulyono di Batang.
Memang memprihatinkan. Sudah jumlahnya kurang memadai, background keilmuannya tidak terkait, masih dibebani tugas-tugas yang tidak relevan. Seperti apa? Masih menurut Mujiono. Dari pengalamannya, rata-rata konselor sekolah dianggap sebagai sosok yang serba bisa (oleh siapa?), karena itu seringkali ditempatkan pada posisi yang tidak berkaitan dengan bidang BK, hanya sekedar untuk mengisi posisi yang kosong. Sayangnya, Mujiono tidak merinci contoh tugas seperti apa yang seringkali diemban konselor. Barangkali yang dimaksud adalah tugas-tugas mendisiplinkan siswa yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah, yang ujung-ujungnya justru membuat citra konselor negatif di mata siswa.
Paradigma konselor sebagai polisi sekolah ini seharusnya dibuang jauh-jauh dalam praktik sehari-hari, bukan malah dilegendakan. Karena citra itu membuat siswa takut berhubungan dengan konselor.Dalam keadaan takut bagaimana mungkin konselor mau menolong siswa? Bagaimana mungkin siswa akan curhat kepada oknum yang ditakuti?
Idealnya, konselor bisa menjadi sosok yang dipercaya siswa sebagai tempat berbagi..Dalam bahasa mbak Muji, “Konselor harus senantiasa dicari siswa untuk tempat curhat. Jadi manakala konselor tidak masuk, siswa merasa kehilangan teman curhat. Dengan begitu ruang BK bukan untuk menghukum anak tapi ruang dimana siswa memperoleh kenyamanan psikis, sehingga dia dapat belajar dengan optimal.”
Setuju banget. Itu perlunya ada konselor di sekolah. Bukan untuk disegani atau malah dijauhi, tapi menjadi orang yang paling dicari siswa di sekolah, untuk berbagi keluhan dan masalah-masalahnya, mendampinginya menyelesaikan tugas-tugas pertumbuhannya.
Sudahkah anda melakukannya? (TS)
Menariknya, hampir semua teman kita sepakat bahwa faktor konselorlah biang keladi kurang berhasilnya pelaksanaan BK di sekolah. Sebuah jawaban jujur yang patut diapresiasi. Sebab ada kecenderungan sebuah korps cenderung membela diri dan tidak mau dipersalahkan atas kekurangan atau kesalahan yang mungkin terjadi.
Apa sih sebenarnya kekurangan para konselor sekolah?
Mas Puji Irianto Langgeng dengan antusias mengatakan, hambatan utama pelaksanaan BK di sekolah terletak pada kompetensi konselor yang kurang, sehingga profesionalitas kerjanya pun tidak terlihat. Menurutnya, sangat langka seorang konselor yang memahami kedudukan dan fungsinya dengan benar, sehingga mereka miskin kreativitas dan inovasi. “Banyak yang masih bingung dengan tugasnya sendiri, sehingga mereka tampil seadanya. PAYAH!”, pungkas Pujo, yang menulis “payah” dalam huruf besar.
Pendapat ini senada dengan yang dilontarkan oleh mas Anis di Kartasura, yang melihat banyak konselor yang tidak profesional dan bonafid, sehingga tidak dipercaya oleh pihak sekolah. Mungkin dari kacamata Anis yang tidak berkacamata ini, banyak dijumpai konselor sekolah yang kinerjanya tidak meyakinkan sehingga pihak sekolah meragukan kemampuannya.
Mbak Muji di Karanganyar juga menyoroti kinerja konselor yang tidak maksimal, padahal menurutnya, “Kalau kita mau profesional semua perangkat, baik sarana maupun kebijakan pemerintah sudah cukup untuk bekal kerja secara profesional.”
Ketidakprofesionalan konselor itu oleh Mas Rissa di Pekalongan dijlentrehkan sebagai “terjebak dalam rutinitas dan pekerjaan administratif dan sekadar partisipatif.” Selain itu Rissa juga menyebut kekurangan mendasar konselor sekolah, seperti tidak menguasai tehnik konseling, tidak kreatif dan inovatif. Beliau tidak asbun lo, karena telah membuktikannya lewat tesis S2-nya, yang membahas kinerja konselor sekolah yang buruk dan hasilnya sangat signifikan. Mas Rissa berjanji akan mempublikasikan tesisnya tersebut di Ikabela82.
Mengapa konselor tidak profesional? Mengapa kinerjanya – di mata sejawat – dianggap memble?
Faktornya pasti banyak. Salah satunya, barangkali, menyangkut etos kerja yang rendah. Menurut Muji, konselor sekolah tidak bekerja maksimal karena dengan kerja santai saja oleh atasan tidak ada teguran. Kalau kerja seadanya sudah dianggap baik, pasti tidak tertantang untuk bekerja lebih baik. Artinya motivasi berprestasi konselor sekolah pada umumnya rendah.
Faktor lain terkait dengan rasio konselor:siswa yang tidak ideal. Ini pendapat Mujiono di Blora. Lebih parah lagi, tidak semua konselor berlatar belakang Bimbingan Konseling, seperti disuarakan oleh Mulyono di Batang.
Memang memprihatinkan. Sudah jumlahnya kurang memadai, background keilmuannya tidak terkait, masih dibebani tugas-tugas yang tidak relevan. Seperti apa? Masih menurut Mujiono. Dari pengalamannya, rata-rata konselor sekolah dianggap sebagai sosok yang serba bisa (oleh siapa?), karena itu seringkali ditempatkan pada posisi yang tidak berkaitan dengan bidang BK, hanya sekedar untuk mengisi posisi yang kosong. Sayangnya, Mujiono tidak merinci contoh tugas seperti apa yang seringkali diemban konselor. Barangkali yang dimaksud adalah tugas-tugas mendisiplinkan siswa yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah, yang ujung-ujungnya justru membuat citra konselor negatif di mata siswa.
Paradigma konselor sebagai polisi sekolah ini seharusnya dibuang jauh-jauh dalam praktik sehari-hari, bukan malah dilegendakan. Karena citra itu membuat siswa takut berhubungan dengan konselor.Dalam keadaan takut bagaimana mungkin konselor mau menolong siswa? Bagaimana mungkin siswa akan curhat kepada oknum yang ditakuti?
Idealnya, konselor bisa menjadi sosok yang dipercaya siswa sebagai tempat berbagi..Dalam bahasa mbak Muji, “Konselor harus senantiasa dicari siswa untuk tempat curhat. Jadi manakala konselor tidak masuk, siswa merasa kehilangan teman curhat. Dengan begitu ruang BK bukan untuk menghukum anak tapi ruang dimana siswa memperoleh kenyamanan psikis, sehingga dia dapat belajar dengan optimal.”
Setuju banget. Itu perlunya ada konselor di sekolah. Bukan untuk disegani atau malah dijauhi, tapi menjadi orang yang paling dicari siswa di sekolah, untuk berbagi keluhan dan masalah-masalahnya, mendampinginya menyelesaikan tugas-tugas pertumbuhannya.
Sudahkah anda melakukannya? (TS)
Mempertanyakan Profesionalisme Konselor
4/
5
Oleh
Admin