BIMBINGAN DAN KONSELING BERWAWASAN GENDER:

BIMBINGAN DAN KONSELING BERWAWASAN GENDER:

Meretas Hambatan Perkembangan Rasa Keberhasilan dalam Karier

(Career self- efficacy) siswa SMA

Oleh : Prof. Dr. Alimuddin Mahmud, M.Pd

Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM)

Judul pidato pengukuhan ini saya pilih dengan beberapa pertimbangan akademis sebagai berikut:

1. Selain sesuai dengan bidang keahlian saya sebagai guru besar dalam bimbingan dan konseling, judul ini juga sesuai dengan arah kebijakan pemerintah yang mencanangkan pengarusutamaan gender dalam semua lini kehidupan, dan sesuai pula dengan prinsip layanan bimbingan dan konseling untuk semua “guidance and counseling for all”

2. Pengamatan sepintas lalu di lapangan mengantarkan saya kepada sebuah kesimpulan bahwa gerakan pemberdayaan perempuan belum sepenuhnya menyentuh profesi bimbingan dan konseling di sekolah sehingga praksis bimbingan dan konseling di sekolah sekarang ini, khususnya di SMA, umumnya masih menggunakan paradigma yang androsentrik dan berpihak kepada jenis kelamin tertentu (sexisms), dalam hal ini laki-laki, yang secara langsung maupun tidak langsung memarginalkan kaum perempuan.

3. Hasil need assesment konseling berwawasan gender pada beberapa SMA di kota Makassar menunjukkan bahwa siswa membutuhkan bantuan untuk memahami konsep dasar gender dan peran gender, penentuan pilihan pendidikan dan pekerjaan secara mandiri, persiapan memasuki karier profesional, pengembangan penyesuaian diri dalam relasi gender, dan pengembangan kepribadian asertif (Sunarty, K. dan Mahmud, A. 2004).

4. Hasil kajian pustaka menunjukkan bahwa tingginya rasa keberhasilan dalam karier merupakan faktor pendorong dan pemicu utama pencapaian tujuan karier, sebaliknya rendahnya rasa keberhasilan dalam karier menjadi penghambat utama pencapaian tujuan karier (Schwazer dan Renner, 2000; Luzzo dan Mcwhirter, 2001: Brown, 2007).

Hadirin yang saya hormati

Sebelum saya memaparkan materi inti dari pidato saya, izinkanlah saya menyampaikan permohonan maaf kepada para hadirin, terutama kepada para perempuan, sekiranya dalam pidato saya ini di sana-sini masih tersirat dan tersurat hal-hal yang menunjukkan bias gender. Permohonan maaf tersebut saya sampaikan disertai janji terhadap diri saya sendiri untuk tetap belajar menjadi akademisi, ilmuan, pendidik, konselor, suami, dan pribadi yang berperspektif gender. Saya sangat menyadari bahwa saya mulai tertarik dan mempelajari persoalan-persoalan gender dalam latar profesi saya bimbingan dan konseling, baru sepuluh tahun terakhir ini, sementara empat puluh tahun sebelumnya, saya dididik dan dibesarkan dalam budaya keluarga dan budaya masyarakat selaku seorang laki-laki yang patriarkhis. Jadi meskipun dalam menyiapkan pidato ini saya telah mencoba bersifat netral dengan cara mencoba mengesampingkan bahwa saya secara bio-psikologis adalah seorang laki-laki, namun saya yakin pidato ini masih kental dengan nuansa keegoan saya selaku seorang laki-laki.

Hadirin yang saya hormati

Pada bagaian awal pidato ini, saya akan memaparkan permasalahan gender dalam latar pencapaian tujuan karier, arti dan dinamika perkembangan Rasa Keberhasilan dalam Karier (RKdK), menggambarkan bagaimana proses tinggi rendahnya RKdK pada diri siswa dan sumber serta hambatan perkembangan RKdK dengan menggunakan sudut pandang teori belajar sosial yang berperspektif gender.

Permasalahan gender dalam pencapaian tujuan karier

Permasalahan gender tampak pada pencapaian tujuan karier, baik pada laki-laki maupun perempuan. Hal ini nyata pada jumlah dan persentase perempuan Indonesia yang bekerja di luar rumah, baik yang menikah maupun belum menikah, terus bertambah. Tetapi, jenis dan mutu lapangan kerja yang dimasuki terbatas pada lapangan kerja kasar dan bergaji rendah (Wahyuni,1997; Soetrisno,1997). Selain itu, data menunjukkan, bahwa perempuan masih tertinggal dari laki-laki. Data yang dihimpun oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia (2007) menunjukkan bahwa di bidang pendidikan, angka buta huruf perempuan 14,5 % lebih besar dari laki-laki yaitu 6,9%, Di bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki jauh lebih tinggi (86,5%) daripada perempuan (50,2%). Di bidang politik pengambil keputusan dari pemilu 2004 keterwakilan perempuan 11% untuk DPR, dan 19,8% untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam bidang hukum masih banyak dijumpai substansi, struktur, dan budaya hukum yang diskriminatif gender.Pejabat Eselon:Dari 645 EselonI, Laki-laki = 582 (90,23%), Perempuan = 63 (9,77%). Dari 11.255 eselon II, Laki-laki = 10.500 (93,29%), perempuan = 755 (6,71%).

Permasalahan lainnya adalah arah pilihan karier yang streotipe gender. Misalnya, (1) siswa perempuan lebih memilih lapangan kerja yang tidak menuntut penguasaan teknologi tinggi; (2) siswa laki-laki lebih tertarik pada lapangan kerja ilmiah dan berada di kawasan publik; (3) siswa perempuan menghindari lapangan kerja yang didominasi laki-laki, sebaliknya siswa laki-laki cenderung menghindari pekerjaan yang didominasi perempuan (Betz, 1996, Mahmud, 2005). Selanjutnya, arah pilihan studi siswa dipengaruhi anggapan dalam masyarakat bahwa sekolah kejuruan (STM) adalah sekolah untuk laki-laki. Sebaliknya, home economics (SMKK) adalah sekolah khusus perempuan. Fakultas sains dan matematik, komputer, teknik dan industri adalah fakultas laki-laki. Sedangkan fakultas ilmu pendidikan dan keguruan, dan fakultas ilmu sosial dianggap fakultas perempuan. Sementara fakultas psikologi, ekonomi, dan kedokteran tergolong fakultas laki-laki, tetapi banyak diminati oleh perempuan (Suleeman, 2000).

Mencermati potret permasalahan gender dalam pencapaian tujuan karier tersebut, saya berkesimpulan bahwa pilihan karier siswa ditentukan oleh familiar tidaknya siswa terhadap bidang karier tertentu, sementara familiar tidaknya siswa terhadap bidang karier tertentu sangat terkait dengan RKdK yang terbentuk dari hasil sosialisasi identitas dan peran jender yang bias gender di masa lalu. Karena itu, upaya untuk mengubah tujuan-tujuan vokasional siswa hendaknya memperhitungkan kekuatan sosialisasi yang terkait dengan RKdK. Persoalannya apa itu RKdK, bagaimana dinamika perkembangannya? Dan apa yang menjadi sumber dan pengambat perkembangannya?

Hadirin yang saya hormati

Arti dan Dinamika RKdK

Konsep rasa keberhasilan (self-efficacy), pertama kali dikemukakan oleh Bandura, pelopor teori belajar sosial, terkait dengan pembahasan tentang keyakinan seseorang atas kemampuan dirinya sendiri (Bandura,1986;Bandura, 1997). Rasa keberhasilan meliputi berbagai bidang kehidupan, salah satu di antaranya adalah RKdK (career self- efficacy), yakni ketegasan untuk memilih, dorongan untuk berunjuk kerja, dan kegigihan dalam merespon tugas-tugas dalam bidang studi dan lapangan kerja tertentu.

Dinamika perkembangan RKdK merupakan interaksi antara proses internal dan eksternal yang berlangsung melalui fase motivasi dan fase volitional. Pada fase motivasi, seseorang mengembangkan minat berdasar persepsi terhadap resiko, pengharapan hasil, dan kemampuan diri sendiri. Pada fase volitional, individu merencanakan kegiatan, berusaha dengan gigih, tidak takut gagal, dan merasa akan mampu bangkit dari kegagalan.

Dalam konteks persekolahan, tinggi-rendahnya RKdK dapat ditelusuri melalui perilaku vokasional siswa. Siswa yang menganggap bidang karier tertentu sulit, kepercayaan dirinya menurun dan merasa akan gagal apabila ia memilih karier tersebut. Karena itu, ia tidak berminat dan tidak mau memilih karier itu. Sebaliknya, apabila siswa menganggap bidang karier tertentu gampang, ia akan percaya diri dan merasa akan sukses apabila ia memilih bidang karier tersebut. Karena itu, ia akan tertarik, memilih, merencanakan tindakan, dan berusaha merealisasikan rencana dengan strategi yang berbeda-beda. Sebaliknya, siswa yang kurang percaya diri, akan merasa tidak berdaya, dan menutup diri terhadap pengalaman-pengalaman yang dapat mengaktualkan potensi dirinya ke arah pilihan karier. Kalaupun berusaha, usaha yang dilakukan tidak optimal, dan terpaku pada satu strategi. Apabila mengalami kegagalan ia akan terpuruk dalam kegagalannya, atau tidak mampu bangkit dari kegagalan.

Sumber dan Hambatan Perkembangan Rasa Keberhasilan dalam Karier

Dari sudut pandang teori belajar sosial, RKdK pada diri siswa terbentuk, berubah dan berkembang, karena hasil belajar melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber utama, yaitu (1) pengalaman yang terkait kesuksesan dan kegagalan di masa lalu (performance accomplishment), (2) pengamatan terhadap perilaku orang lain (vicarius learning), (3) tingkat ketegangan emosi dalam menghadapi tantangan (emotional arousal), dan (4) pemberian motivasi dari orang lain (verbal persuasion).(Bandura, 1997; Zeldin, 200)

Dari keempat sumber itu, sumber yang paling utama adalah pengalaman sukses dan gagal yang dialami anak akibat pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) dari orang tua. Penghargaan dan hukuman dari orang tua bergantung pada sesuai tidaknya perilaku anak dengan harapan orang tua. Orang tua umumnya mengharapkan anak laki-lakinya menjadi pekerja keras, cerdas, jujur, ambisius, agresif, independen, dan sukses. Sebaliknya, anak perempuan diharapkan menjadi istri yang baik, ibu rumah tangga yang baik, dan perawat anak yang penuh kasih sayang (Zunker, 1990; Elliot, 2000). Perbedaaan harapan seperti ini menimbulkan perbedaan dalam pemberian penghargaan dan hukuman. Anak yang berperilaku sesuai dengan harapan orangtua dianggap anak yang baik dan diberi penghargaan, sebaliknya anak yang berperilaku tidak sesuai dengan harapan orang tua diberi hukuman. Demikian juga yang berlangsung dalam masyarakat, orang yang bertindak tidak sesuai dengan harapan (stereotipe gender) masyarakat dianggap berperilaku menyimpang dan mendapat hukuman dari masyarakat, sebaliknya orang yang bertindak sesuai dengan harapan masyarakat dianggap baik dan mendapat penghargaan dari masyarakat. Perbedaan bentuk perlakuan dan adanya streotipe gender yang berkaitan dengan maskulinitas dan feminitas akan menghambat perkembangan RKdK.

Meskipun tidak sebesar pengaruh pengalaman yang berhubungan dengan kesuksesan dan kegagalan di masa lalu, mengamati perilaku orang lain juga merupakan sumber dan penghambat RKdK. Ada dua proses yang saling terkait dalam belajar mengamati, yaitu penguatan (reinforcement) dan peniruan (modeling). Anak meniru suatu perilaku jika ia mendapat penguatan positif dari hasil peniruannya. Model perilaku orang tua dan anggota keluarga yang diamati anak pada umumnya berbentuk aktivitas peran gender tradisional, seperti memasak dan belanja untuk ibu dan anak perempuan, mencuci mobil dan memancing untuk bapak dan anak laki-laki. Jika anak meniru model perilaku orang tua dan anggota keluarga lainnya, anak mendapat pengukuhan berupa penghargaan, sebaliknya jika anak tidak meniru perilaku orang tua dan anggota keluarga anak dianggap berperilaku menyimpang dan mendapat hukuman. Akibatnya, anak cenderung mencari jalan aman untuk menghindari hukuman. Kebiasaan mengamati perilaku orangtua dan anggota keluarga lainnya, dan kecenderungan anak menghindari hukuman menjadi salah satu penyebab rendahnya RKdK.

Ketegangan emosi terkait dengan tinggi-rendahnya RKdK tampak pada perilaku perempuan yang tidak mandiri, kurang asertif, dan selalu mengalah dan dikalahkan dalam hubungan antarpribadi dan dalam pengambilan keputusan karier. Perempuan kurang tegas dalam membuat perencanaan dan mengambil keputusan karier karena khawatir terjadi konflik antara kebutuhannya untuk berprestasi dan citra dirinya sebagai ibu rumah tangga serta takut kehilangan identitas diri sebagai perempuan yang lemah-lembut. Sementara laki-laki yang memiliki RKdK yang rendah tampak pada perilaku tertutup, pesimistik, komunikasi dengan lawan jenis di dalam keluarga dan pekerjaan mengalami hambatan. Gejala ini muncul karena perasaan takut gagal yang bersumber dari pemahaman terhadap kegagalan yang bias gender, kegagalan dipahami sebagai simbol sifat lemah yang biasanya dilekatkan pada perempuan. Karena itu, laki-laki yang mengalami kegagalan dicap sebagai laki-laki yang lemah.

Persuasi verbal dalam bentuk pemberian dorongan yang kuat menumbuhkan keseimbangan mental dan kepercayaan diri, dan memperbesar upaya untuk mencapai kesuksesan. Begitu juga sebaliknya, pemberian dorongan yang kurang kuat menimbulkan perasaan kurang puas, mengurangi kepercayaan diri, dan memperlemah semangat mencapai tujuan. Persuasi verbal umumnya diberikan sesuai dengan persepsi dan konseptualisasi tentang pentipean jenis kelamin. Laki-laki dikonseptualisasikan sebagai orang kuat, dianggap cocok untuk pekerjaan berat dan kasar, beresiko tinggi, berada di kawasan publik, dan menuntut pengetahuan dan keterampilan tinggi. Sebaliknya, perempuan dikonseptualisasikan sebagai orang lemah, cocok untuk pekerjaan-pekerjaan ringan, beresiko rendah, berada di kawasan domestik, tidak memerlukan pengetahuan dan keterampilan tinggi. Karena itu, perempuan kurang mendapat dukungan dari anggota keluarga atau masyarakat untuk memilih dan menekuni program studi di bidang sains, matematik, dan komputer sebagai prasyarat untuk mengisi peluang-peluang karier profesional yang lebih menjanjikan (Good, Gilbert, dan Scher, 1990).

Hadirin yang saya hormati

Setelah saya memaparkan arti, dinamika, sumber-sumber, dan hambatan perkembangan RKdK, maka tibalah saatnya saya memaparkan pokok-pokok pendapat, pandangan, dan pendirian saya tentang “keapaan”, “kemengapaan” dan “kebagaimanaan” bimbingan konseling berwawasan gender (BKBG) dalam meretas hambatan perkembangan RKdK.

Gender Androgini sebagai Ideologi Perjuangan dalam Praksis Bimbingan dan Konseling

Saya menyadari bahwa konsep gender tidak berlaku universal dan sangat dipengaruhi oleh nilai budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam budaya Indonesia, konsep gender juga masih merupakan suatu kontroversi. Kontroversi itu timbul karena adanya perbedaan pemahaman tentang seks dan gender dalam masyarakat. Dalam sebagian masyarakat tradisional, gender disamakan dengan seks, akibatnya gender diidentikkan dengan kodrat. Karena itu, secara budaya peran perempuan diharapkan oleh masyarakat berbeda dengan peran laki-laki. Dikatakan bahwa kodrat perempuan adalah sebagai istri pengabdi suami, pengelola rumah tangga seperti yang digambarkan dalam pepatah Jawa Wong wedok yen awan dadi teklek yen bengi dadi lemek”, yang berarti perempuan itu kalau siang jadi terompah kalau malam jadi tikar (Indijah, dalam Munandar, 1985:62). Demikianpun yang terjadi dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Hasil penelitian Masgaba menunjukan bahwa dalam lontarak juga ditemukan berbagai istilah yang mengungkapkan pemahaman masyarakat (Bugis) tentang perempuan sebagai pekerja rumah tangga, seperti yang terlihat pada ungkapan-ungkapan sebagai berikut.

Retti pabbaju rendae (si dara berbaju renda)

Awiseng pakkobajak’e (wanita berkebaya)

Muttiana jajarengge (mutiara rumah)

Intanna jajarangnge (intan rumah)

Wittoing mattengga langi (bintang yang gemerlap di langit)

Sulo matteppane lolangengnge (obor yang menerangi negeri)

Lisek sinrangeng (isi usungan)

Tuttuppanna goari’e (bintang kejora bilik)

Awiseng riporio (wanita tersayang)

Dewi riposalarang (dewi yang tak terlupakan)

Reti toripatung ri nawa-nawa (si dia selalu dikenang)

Lawedakna jajarangge (burung-burungnya rumah)

Muttia belo jajareng (mutiara hiasan rumah)

(Masgaba, 1996:53)

Meskipun terdapat ungkapan-ungkapan seperti yang dikemukakan di atas, tidak berarti bahwa dengan sendirinya semua orang dalam budaya tersebut akan menempatkan perempuan semata-mata sebagai pekerja rumah tangga. Demikianpun tidak semua budaya tradisional di Indonesia menempatkan perempuan sebagai pekerja rumah tangga. Hasil penelitian Kriekhoff (Masgaba, 1996) menunjukkan bahwa perempuan Mandar di Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat), tidak hanya menjadi pekerja rumah tangga, tetapi juga dapat bekerja membantu suami dan dapat pula memiliki usaha sendiri. Aktivitas perempuan Mandar tersebut didorong oleh satu prinsip dasar bahwa orang yang tidak bekerja merupakan “roppong lino” (bahasa Mandar yang berarti sampah masyarakat). Prinsip tersebut sesuai dengan pandangan mereka yang tercantum dalam kalinda’da’ Mandar berikut.

Dipameang pai dalle (reski itu harus dicari)

Dileteanggipai (dengan melalui titian)

Andian dalle (tidak ada reski)

Mambawa alawena (yang datang dengan sendirinya)

(Masgaba, 1996:57)

Adanya perbedaan-perbedaan pandangan budaya tentang gender menimbulkan persoalan, mana konsep gender yang relevan untuk Indonesia? dan harus diperjuangkan sebagai ideologi gender dalam praksis konseling? Pilihan kompromistis adalah ideologi gender Androgini. Androgini berasal dari bahasa Yunani: andro (laki-laki) dan gyn (perempuan), yang berarti gabungan nilai-nilai psikologis maskulin dan feminin dalam diri seseorang. Androgini bukan gabungan ciri-ciri fisik, peran yang bebas seks, atau biseksualitas, melainkan lebih bermakna penempatan keakuan laki-laki dan perempuan yang bersifat komplementer (Hansen dan Rapoza, 1978: Walsh, 2005). Pilihan ideologi gender androgini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan: (1) Pengembangan kepribadian androgini dalam diri seseorang akan menumbuhkan satu kepribadian yang utuh dan lebih memungkinkan orang untuk mengikuti kodrat kemanusiaannya, (2) orang cerdas adalah mereka yang mempunyai kecenderungan androgini paling besar, (3) Untuk mencapai masyarakat yang egaliter, adil, dan berwawasan kemitrasejajaran, androgini merupakan pendekatan yang tepat.

Bias-Bias Gender dalam Teori dan Praksis Bimbingan Konseling

Keberadaan layanan BKBG dibutuhkan mengingat layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan selama ini seringkali diwarnai bias-bias gender. Bias-bias gender tersebut bersumber dari pemahaman konselor yang menyamaartikan seks dengan gender, sikap dan pandangan konselor tentang hakikat manusia sehat yang berorientasi androsentrik, kegiatan bimbingan dan konseling yang memihak jenis kelamin tertentu (sexism), dan penelitian dalam bimbingan dan konseling yang tidak berperspektif gender (Pajares, 2002; Agustinar, 2008). Seks dan gender adalah dua istilah yang berbeda. Seks adalah atribut biologis manusia selaku laki-laki atau perempuan, sebaliknya, gender adalah atribut sosial seseorang selaku laki-laki atau perempuan. Penyamaartian seks dan gender melahirkan peran gender berorientasi androsentrik yang membedakan secara permanen sifat, peran, dan posisi antara perempuan dan laki-laki. Sifat feminim untuk perempuan dan sifat maskulin untuk laki-laki, peran domestik untuk perempuan dan peran publik untuk laki-laki, posisi tersubordinasi bagi perempuan dan mendominasi bagi laki-laki. Pembedaan peran gender laki-laki dan perempuan tidak dipermasalahkan sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender, karena keduanya memang memiliki kodrat masing-masing. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perbedaan peran gender menimbulkan ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, beban kerja yang berat, dan sosialisasi nilai peran gender yang diskriminatif.

Sikap konselor yang androsentrik tampak pada penetapan ciri-ciri manusia sehat. Orang yang secara mental dan emosional sehat digambarkan sebagai pribadi yang mandiri, percaya diri, tegas, memiliki internal locus of control, menerima diri apa adanya, kompetitif, dan bisa mengubah diri sendiri (Pederson, 2002, Agustinar, 2008). Sayangnya, sifat-sifat tersebut lebih banyak dilekatkan pada laki-laki daripada perempuan. Padahal kalau dinalar dengan pikiran dan hati yang jernih, mestinya sifat-sifat itu ada dan harus ada pada setiap manusia sehat, laki-laki maupun perempuan. Akibat sikap androsentrik, konselor cenderung mengistimewakan jenis kelamin tertentu (sexism), dan tritmen yang diberikan kepada konseli berbeda bukan atas dasar jenis dan kualitas masalah tetapi berdasar atas streotipe gender.

Contoh lain dari bias gender dalam layanan bimbingan dan konseling antara lain:

1. Penekanan hanya pada peran gender tradisional, yakni menganggap masalah perempuan akan terselesaikan melalui perkawinan atau dengan menjadi istri yang baik

2. Sikap-sikap yang merendahkan perempuan, menganggap tidak pantas adanya sikap asertif dan aktualisasi diri pada perempuan, dan menekankan pentingnya ciri-ciri dependen dan pasif bagi perempuan

3. Penggunaan konsep psikoanalisis yang seksis, melabel perempuan yang asertif dan menampilkan dorongan kuat untuk berprestasi sebagai memiliki iri hati zakar (penis envy).

4. Secara langsung maupun tidak langsung mengindikasikan bahwa perempuan adalah obyek seksual laki-laki, dan harus menyesuaikan diri dengan peran tersebut

( Pederson, 2002; Corey,2005: Zantrock, 2007).

Metodologi penelitian bimbingan dan konseling, juga berorientasi androsentrik, dilakukan berdasar pada ilmu pengetahuan yang mengasumsikan perempuan sebagai objek pasif, kebiasaan mengadakan overgeneralization, menekankan sudut pandang patriarkhi, dan analisisnya lebih banyak bersifat logis-deduktif atau maskulin-ilmiah.

Penggunaan asumsi manusia androsentrik dalam layanan bimbingan dan konseling bisa berdampak terhadap perkembangan kepribadian siswa. Beberapa dampak yang kemungkinan timbul adalah: (1) siswa perempuan dan laki-laki tidak berkembang sebagai manusia seutuhnya, tetapi akan berkembang sesuai potensi kodrati, laki-laki maskulin dan perempuan feminin; (2) siswa perempuan dan laki-laki membuat keputusan karier, bukan berdasarkan potensi diri, tetapi berdasarkan stereotype gender; (3) relasi siswa perempuan dan laki-laki rentan budaya saling curiga dan konflik maskulinitas dan feminitas; (4) rendahnya motif berprestasi siswa perempuan karena terjadinya konflik antara kebutuhan untuk berprestasi dan takut kehilangan identitas diri sebagai perempuan yang feminin.

Bimbingan dan Konseling Berwawasan Gender: Sebuah Pandangan dan Pendirian

Sebenarnya, dalam sejarah perkembangan Bimbingan dan Konseling di manca negara, bias-bias gender dalam praksis bimbingan dan konseling telah direspon oleh para konselor feminist dengan mengembangkan bimbingan dan konseling feminis, sasarannya memberdayakan perempuan. Tetapi, bimbingan dan konseling feminispun dianggap bias gender karena sasarannya hanya berfokus pada pemberdayaan dan pemecahan masalah perempuan. Karena itu para teoretisi dan praktisi bimbingan dan konseling mengembangkan BKBG (gender aware counseling), yakni bantuan yang diberikan konselor kepada konseli (laki-laki dan perempuan) untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan gender, memperluas wawasan tentang peran gender, dan membantu meningkatkan keterampilan mengatasi hambatan pengembangan karier dalam latar relasi gender (Good, G. & Scher, 1990).

Sehubungan dengan upaya meningkatkan RKdK, Betz (1992) merekomendasikan layanan bimbingan dan konseling yang berbasis teori rasa keberhasilan (self-efficacy theory) dengan cara mengintervensi sumber-sumber rendahnya RKdK. Rendahnya RKdK yang bersumber dari pengalaman sukses dan gagal di masa lalu diintervensi dengan penstrukturan pengalaman-pengalaman dan latihan keterampilan mengatasi kegagalan, Rendahnya RKdK yang bersumber dari hasil pengamatan, dintervensi dengan menggunakan role model orang-orang sukses dikombinasikan dengan latihan percakapan diri (self-talk) dan latihan penghentian alur pikir (thought stopping) yang subyektif terhadap gender. Sedang intervensi rendahnya RKdK yang bersumber dari emotional arousal menggunakan teknik-teknik pengelolaan kecemasan dan relaksasi. Akhirnya, rendahnya RKdK yang bersumber dari kurangnya motivasi atau kekeliruan persuasi verbal diintervensi dengan pemberian motivasi.

Merujuk pada batasan konseling berwawasan gender dari Good, Gilbert dan Sher (1990), rekomendasi layanan konseling yang berbasis teori rasa keberhasilan (self-efficacy theory) dari Betz (1992), dan setelah melakukan perenungan selaku seorang akademisi, saya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa untuk meretas hambatan perkembangan RKdK, BKBG yang dikembangkan mesti memiliki persyaratan minimal sebagai berikut:

1. Dibangun atas dasar filosofi intersubjektivitas, Filosofi yang menganggap relasi antara laki-laki dan perempuan adalah setara, yakni relasi antara “Aku” dan “Kau” menjadi “ Kita”. Selaku manusia. “Kita” sama, meskipun kita berbeda secara fisik tetapi dalam kehidupan sosial jangan dibeda-bedakan. Mari “Kita” hidup harmonis dan bersinergi dalam perbedaan.

2. Memperjuangkan ideologi gender androgini, yang menganggap peran gender laki-laki dan perempuan dapat dipertukarkan. Artinya, pada saat dan situasi tertentu laki-laki bisa menjadi lemah lembut, emosional dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, pada saat tertentu pula perempuan bisa menjadi perkasa, rasional, dan bersikap sebagai pemimpin. Selain itu, perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan potensi diri, termasuk berkiprah di dunia publik dan domestik, dengan tidak melupakan peran-peran kodrati selaku perempuan atau laki-laki..

3. Berada pada posisi lintas paradigmatik (Cottone, 1992), yakni integrasi antara pradigma psikologi internal (androgini) dan eksternal (lingkungan/budaya), paradigma relasi sistemik (relasi gender) dan paradigma kontekstual (RKdK).

4. Berdasar pada teori belajar sosial dalam latar RKdK dan relasi gender.

5. Prinsip perubahan adalah perilaku bermasalah merupakan hasil unlearning, learning, & relearning yang dapat diubah dengan pengalaman belajar yang baru.

6. Fokus perubahan adalah kognisi dan perilaku.

7. Fungsi terapeutik, mendorong pemahaman realitas, pengungkapan diri, saling percaya, saling menghargai, saling menerima, dan kemandirian dalam pengambilan keputusan.

8. Sasaran, konseli yang normal tetapi memiliki tingkat RKdK yang rendah yang terkait dengan persoalan-persoalan gender.

9. Tujuan, membantu konseli (perempuan dan laki-laki) untuk meningkatkan kepekaan dan kesadaran gender, memperluas wawasan klien tentang peran gender androgini, dan meningkatkan keterampilan mengatasi hambatan perkembangan RKdK dalam konteks relasi gender.

10. Prosedur layanan, menggabungkan teori dan praksis bimbingan dan konseling yang sudah ada selama ini dengan prinsip-prinsip gender dalam memahami permasalahan konseli, dan menerapkan teknik dan strategi treatment yang sama untuk perempuan dan laki-laki.

11. Teknik yang digunakan adalah latihan keasertifan, modeling simbolik, dan relaksasi. Latihan keasertifan digunakan membantu konseli berperilaku tegas dalam berbagai situasi sosial. Modeling digunakan membantu konseli mengamati perilaku orang lain yang sukses dalam karier disertai dengan pemberian informasi tentang bagaimana kesuksesan itu diperoleh. Latihan relaksasi digunakan dalam membantu konseli mengatasi kecemasan yang melemahkan rasa keberhasilan.

Model layanan BKBG dengan karakteristik seperti inilah yang saya coba wacanakan, sosialisasikan, kembangkan, dan terapkan beberapa tahun terakhir ini.

Hadirin yang saya hormati

Setelah saya menguraikan pokok-pokok pikiran tentang RKdK dan BKBG seperti yang saya pahami dan kembangkan selama ini, pada kesempatan ini izinkanlah saya mengemukakan gambaran hasil penerapan BKBG di salah satu SMA di kota ini.

Dari Teori Ke Aksi

Ada empat gambaran hasil penerapan BKBG yang dapat saya kemukakan pada kesempatan ini, yaitu:

1. BKBG meningkatkan RKdK-IPA dan Matematika, IPS, dan Bahasa pada siswa perempuan. Peningkatan RKdK disebabkan oleh (1) siswa perempuan telah memahami arti gender dan distribusi peran gender, (2) pada siswa perempuan timbul kesadaran dan kepekaan gender, (3) kesadaran dan kepekaan gender menjadikan siswa perempuan berani dan memiliki keyakinan diri untuk berkarier secara profesional di dunia publik.

2. BKBG meningkatkan RKdK-IPA dan Matematika, IPS, dan Bahasa pada siswa laki-laki. Namun, peningkatan RKdK tidak sepenuhnya dibarengi perubahan kesadaran dan kepekaan gender. Ada faktor lain yang lebih berpengaruh, yakni minat terhadap matapelajaran dan bidang karier, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.

3. Dari Focus Group Disscussion, terungkap bahwa sebelum BKBG, siswa perempuan tidak sadar gender dan tidak peka gender akibat dari mereka tidak memahami arti gender dan distribusi peran gender androgini, dan secara tidak langsung mereka menganut ideologi peran gender androsentrik. Hal ini terlihat pada keragu-raguan dan penolakan untuk berkarier di dunia publik. Sesudah latihan keasertifan, modeling, dan relaksasi, dalam BKBG, kesadaran dan kepekaan gender mulai muncul pada siswa perempuan. Hal ini tampak pada keinginan menjadi ahli informatika lebih mantap dengan alasan memilih pekerjaan bukan soal laki-laki atau perempuan, tetapi sesuai dengan kemampuan atau tidak. Keinginan menjadi ahli biologi karena senang terhadap tumbuh-tumbuhan dan binatang, dan selalu mendapat prestasi belajar yang tinggi dalam mata pelajaran biologi. Kepekaan gender ditandai dengan keberanian dan kesiapan untuk mencoba meyakinkan orang tua dengan cara yang asertif, tidak melukai perasaan, jika kelak orang tua menghalangi cita-citanya. Kesadaran dan kepekaan gender terjadi karena pergeseran ideologi gender androsentrik ke ideologi gender androgini. Pergeseran ideologi gender tersebut terjadi karena siswa telah memahami konsep gender dan peran gender androgini yang telah didapatkan di dalam latihan asertif, dan kecemasan siswa akan timbulnya hambatan dalam pilihan karier berkurang karena adanya kemampuan melakukan relaksasi, dan mereka telah mengamati perilaku model perempuan yang sukses berkarier tanpa mengabaikan atau tidak melupakan kodratnya selaku perempuan.

4. Sebagaimana halnya dengan siswa perempuan, sebelum BKBG siswa laki-laki juga cenderung tidak sadar gender dan tidak peka gender karena mereka tidak memahami konsep gender dan konsep distribusi peran gender androgini. Selain itu, siswa laki-laki cenderung stereotipe dan berpandangan androsentrik dalam memaknai peran gender. Sesudah BKBG kesadaran dan kepekaan gender siswa laki-laki tidak banyak berubah, hal ini terlihat pada ketidakinginan mereka untuk bekerja pada lapangan kerja yang menurut masyarakat tidak sesuai kodrat selaku laki-laki dengan alasan takut disebut waria. Tampaknya, tantangan siswa laki-laki adalah bagaimana memenuhi tuntutan peran gender tradisional (androsentrik) yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah dalam keluarga, sehingga keberhasilan mencari pekerjaan secepat mungkin merupakan dasar utama dari rasa keberhasilan. Karena itu, sebagian siswa laki-laki lebih mementingkan untuk memenuhi peluang kerja yang ada daripada melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau mencari pekerjaan yang mempunyai status dan gaji yang tinggi.

Hadirin yang saya hormati

Arah baru pengembangan profesi bimbingan dan konseling

Belajar dari pengalaman mengembangkan dan menerapkan model layanan BKBG dengan karakteristik seperti yang telah saya paparkan sebelumnya, maka pada kesempatan ini perkenankanlah saya mengemukakan beberapa refleksi pemikiran tentang arah baru pengembangan profesi bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah kita di Indonesia, khususnya pada tingkat SMA. Pokok pikiran ini didasarkan pada sebuah pendirian bahwa setiap upaya untuk mengembangkan profesi bimbingan dan konseling harus memperhatikan tiga aspek utama, yakni aspek teore, aspek penelitian, dan aspek praksis bimbingan dan konseling.

Arah Pengembangan teore

Dari segi teoretik, tantangan pengembangan profesi bimbingan dan konseling sekarang ini adalah bagaimana meminimal budaya bias gender dalam epistemologi bimbingan dan konseling. Salah satu alternatif pilihan adalah mengembangkan konsep teori keilmuan bimbingan dan konseling yang tidak mengistimewakan jenis kelamin tertentu, bertujuan membantu konseli dalam meningkatkan kepekaan dan kesadaran gender, dan memperluas wawasan konseli tentang peran gender. Untuk itu, layanan bimbingan dan konseling harus dibangun atas dasar filosofi intersubjektivitas dan berdasar pada asumsi bahwa manusia sehat adalah manusia yang berkepribadian androgini. Selain itu, teori keilmuan bimbingan dan konseling harus menggunakan paradigma yang bertolak dari teori-teori psikologi dan teori-teori konseling dan psikoterapi konvensional, tetapi didasarkan pada sejumlah asumsi tentang hakekat manusia androgini. Dalam pandangan saya penggunaan asumsi kepribadian androgini lebih memberi peluang kepada konseli untuk berkembang sesuai kodrat kemanusiaannya yang pada akhirnya akan mengantar konseli pada perkembangan kepribadian yang optimal dan utuh. Implikasinya, perlu dilakukan redefinisi dan rekonseptualisasi manusia sehat dalam layanan bimbingan dan konseling di Indonesia. Redefinisi dan rekonseptualisasi manusia sehat penting, karena definisi tentang manusia sehat menggambarkan tujuan bimbingan dan konseling, dasar bagi identifikasi masalah, diagnosis, prognosis, treatmen, dan evaluasi keefektifan layanan bimbingan dan konseling.

Arah Pengembangan praksis bimbingan dan konseling

Arah pengembangan praksis bimbingan dan konseling di sekolah, khususnya di SMA adalah terwujudnya kepribadian androgini. Untuk itu, konselor harus berpandangan androgini, tidak berpihak pada salah satu jenis kelamin, dan memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk membantu konseli perempuan dan laki-laki dalam kehidupan yang bebas dari budaya tertekan (oppressive) dan pribadi yang bebas dari informasi yang bias gender atau stereotype gender). Hal ini dikemukakan karena konseli yang ditangani konselor yang androgini lebih memperoleh rasa aman dalam proses konseling daripada konseli yang ditangani konselor yang non androgini (Mintz, & O’Neil,1990: Shariff, 2004). Selanjutnya, konselor sekolah diharapkan dapat menggunakan secara kreatif suatu kerangka pikir teoretik untuk mengarahkan praksis dan penelitian bimbingan dan konseling. Konselor sekolah dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling perlu menyeimbangkan antara penyampaian pesan, sikap, dan harapan peran gender androsentrik dengan penyampaian peran gender androgini, dan lebih menyosialisasikan pengambilan keputusan karier berdasar potensi diri dan peluang kerja yang dihadapi daripada pengambilan keputusan karier semata-mata berdasar keadaan diri selaku perempuan atau laki-laki. Kurikulum dan strategi perlaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, khususnya di SMA, perlu ditata ulang agar siswa dapat dibantu mengembangkan skema gender dan sex-typing yang lebih tepat serta pemahaman tentang dunia kerja secara non-seksis, sehingga mereka dapat mengembangkan “sense of shared human identity and potential” dan mengembangkan kepribadian androgini secara optimal. (Oakley dalam Suleeman, 2000).

Arah pengembangan penelitian bimbingan dan konseling

Arah penelitian bimbingan dan konseling di sekolah adalah pengkajian variabel dan atau fokus penelitian yang terkait dengan persoalan-persoalan gender dalam latar bimbingan dan konseling. Misalnya, orientasi peran gender, sikap peran gender, konflik peran gender dan sebagainya. Selain itu, juga perlu digalakkan penelitian pengembangan (research and development) dan pengkombinasian penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk menghasilkan kurikulum, bahan-bahan, teknik, instrumen evaluasi, dan prosedur bimbingan dan konseling yang berideologi peran gender androgini. Dengan demikian akan semakin terbuka peluang dan kesempatan untuk menghasilkan alternatif-alternatif strategi intervensi yang baru, dalam arti berorientasi dan berwawasan gender, terhadap pengembangan diri siswa, khususnya pengembangan diri yang terkait dengan rasa keberhasilan dalam karier.

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan hari ini bisa menjadi sumbangan pikiran bagi pengembangan profesi bimbingan dan konseling di Indonesia yang sekarang ini masih dalam proses pencarian jati diri.

Makassar, Februari 2009

Daftar Pustaka

Agustinar. (2008). Bias-Bias Gender dalam Persepsi Konselor Sekolah Pada SMA Negeri Makassar. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Pendididikan.

Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Engglewood Cliffs.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy:The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman Company.

Betz, N.E., Hacket, G. (1981). The relationship of career related self-efficacy expectation to perceived career options in college woman and man. Journal Counseling Psychology, 28, 399-410.

Betz, N. E. (1992). Counseling uses of career self-efficacy theory. The Career Development Quarterly, 41, 22-26.

Brown, S.D. & Lent, R. W. (1984). Handbook of Counseling Psychology. New York: A Wiley-Interscience Publication, John Willey & Sons.

Brown, S.D. & Lent, R. W. (2005). Career development and counselling: Putting Theory and Research to Work. New York: Pearson.

Brown, D. 2007. Career Information, Career Counselling, and Career Development. Ninth edition.New York: Pearson.

Cooper, S.E., Debra, A., Robinson. 1991. The relationship of Mathematic self-efficacy beliefs to mathematics anxiety and performance. Measurement and Evaluations in Counseling and Development. Vol 24. 4-11.

Corey, G. (2005). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Third edition. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.

Cottone, R.R. (1992). Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.

Elliot, S.N.; Kratochwill, T.R.,Cook, J.L., Traver, J.E. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Third Edition. Boston: McGraw-Hill Higher Education.

Good, G.E., Gilbert, L.A., & Scher, M. (1990). Gender aware therapy: a synthesis of feminist therapy and knowledge about gender. Journal of Counseling & Development, 68, (4), 376-380.

Good, G.E. & Scher, M. (1990). Gender and counseling in the twenty-first century: what does the future hold. Journal of Counseling & Development, 68, 388-390.

Luzzo,D.A. & McWhitter, E.H. (2001) Sex and ethnic differences in perception of educational and career-related barriers and level of coping efficacy. Journal of Counseling and Development, 79, (1) 61-67.

Mahmud, A. (2005) Penerapan Konseling Kelompok Berwawasan Gender dalam meningkatkan Rasa Keberhasilan dalam Karier (Career Self Efficacy): Studi Pra-eksperimen pada Siswa SMU Neg. IX Makassar, Disertasi. PPS Universitas Negeri Malang

Masgaba. (1996). Bulletin Triwulan Bosara: Media Informasi sejarah dan Budaya Sulsel. Ujung Pandang: Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional.

Mintz, L.B. & O’Neil. (199). Gender role, sex, and the process of psycho- therapy: many questions and few answers. Journal of Counseling & Development, 68, (4), 381-387.

Pajares, F. (2002). Overview of Social Cognitive Theory and of Self-efficacy. 21-12-2004. from http://www.emory.edu/EDUCATION/mfp/eff.html

Parrot, L. (2003). Counseling and Psychotherapy. Second Edition. Singapore: Thomson, Brooks/Cole

Pederson, P. B. , Draguns, J. G., Lonner, W.J. Trimble, J. E. (2002). Counseling Across Cultures. 5th Edition. California. Sage Publications Inc.

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima. Terjemahan Chusairi dan Damanik. Jakarta: Penerbit Erlangga

Santrock, J.W. (2007). Psikologi Pendidikan. Edisi Kedua. Terjemahan Tri Wibowo B.S.. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Group

Schwazer, R., Renner, B. (2000). Social-cognitive predictor of healt behavior: action self-efficacy and coping self-efficacy. Healt Psychology, 19, (5), 487-495.

Shariff, R.S. (2004). Theories of Psychotherapy and Counseling: Concepts and Case, Third Edition. Singapore: Thomson, Brooks/Cole.

Soetrisno, L. (1997). Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Suleeman, E. (2000). Gender Role Sterotypes and Education. Dalam Bermmellen, Habsyah, dan Setyawaty (penyunting), Benih Bertumbuh (halaman:517-525). Jakarta: Kelompok Pejuang Perempuan Tertindas dan Kedutaan Besar Belanda.

Sullivan, K. R. & Mahalik, R. (2000). Increasing self-efficacy for women: evaluating a group intervention. Journal of Counseling & Development, 78, 54-61.

Sunarty, K. & Mahmud, A. (2004). Analisis Kebutuhan Konseling Berwawasan Jender di beberapa SMA Kota Makassar. Laporan penelitian. Makassar: Pusat Studi Wanita, UNM.

Vermeulen, M. & Mustard, C. (2000). Gender differences in job strain, social support at work, and psychological distress. Journal of Occupational Healt Psychology, 5,(4), 428-440.

Wahyuni. (1997). Terpuruk Ketimpangan Gender. Yogyakarta: PKBI DIY dengan Lapera Pustaka Utama

Walsh, W. B. Mark, L. Savickas. (2005). Handbook of Vocational Psychology. Third Edition. London: Lawrence Erlbaum Associate, publisher.

Zeldin, A.L. (2000). Source and Effect of the self-efficacy Beliefs of Men with Careers in Mathematics, science, and Technology. http//ww.laep. org/target/ profile/ index html, 30 Desember 2004.

Zunker, V.C. (1990). Career Counseling Applied Concepts of Life Planning. Pasific Grove, California: Brooks/Cole publishing company.


Artikel Terkait

BIMBINGAN DAN KONSELING BERWAWASAN GENDER:
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email