Pengalaman Pertama Konselor di SMP


Sebulan bekerja sebagai konselor di sebuah SMP swasta yang dikenal punya reputasi bagus di Kota Kupang, saya menemukan beberapa fakta menarik di sana.
1.      Kebanyakan mereka berasal dari keluarga kalangan menengah ke atas. Mereka adalah remaja dari keluarga dengan ekonomi mampu. Serba ada, serba dilayani di rumah. Dibekali uang jajan yang…. Wow, jika dibandingkan dengan saat saya SMP dulu hahaha….
2.      Beberapa persoalan sama yang saya temukan, banyak remaja dengan kecenderungan perilaku sejenis, misalnya agresif verbal dan fisik, dianggap temannya ‘suka cari perhatian’, cuek tapi menuntut (egosentrisme tinggi), mudah tersinggung dan labil. Ketika saya cek ke wali kelas, wawancara dan melakukan banyak dialog dengan mereka (yang satu persatu saya dekati), jawabannya sama, kurang lebihnya begini:
“Saya kesal di rumah. Sepi. Bapak dan Mama sibuk melulu, kerja inilah, kerja itulah. Jarang di rumah. Tapi bapak itu suka manjain saya. Mauuu apa saja dituruti, tapi memang sih jarang ketemu Bapak. Abis kerjanya diluar kota terus. Ibu juga sibuk. Seringnya saya di rumah sama adik (atau kakak), tapi berantem terus sama mereka. Saya benci adik saya (atau kakak saya), dia usil. Kakak saya egois. Kalau bosan di rumah, saya suka kabur (keluyuran) tanpa izin, ke rumah teman, ke mall. Suka bohongin sih, karena kalau jujur mau ke mana, pasti dilarang.”

Poin penting: anak kurang perhatian, ortu sibuk (tapi permisif. Ini tidak bagus. Karena ingin ‘membalas’ waktu yang terlewatkan tanpa berada di sisi anak, karena pekerjaan, akhirnya memanjakan anak, menuruti semua kemauan anak). Anak akhirnya ‘kabur’ dari rumah mencari teman ngobrol. Anak akhirnya berbuat ulah di sekolah, supaya diperhatikan, dianggap ada, dianggap eksistensinya.
3.      Mungkin ini sangat terkait dengan poin 1, respek ke orang atau barang (miliknya sendiri, teman atau fasilitas sekolah) minim. Karena mungkin di rumah, pola didiknya langsung ke hasil, bukan prosesnya. Mau Blackberry seri terbaru langsung dibelikan, tanpa ada proses belajar menabung dulu, berprestasi dulu, misalnya.
Anak yang dididik dalam pola asuh yang indulgent, highly privilege (orang tua sangat memanjakan anak dan memmenuhi semua keinginan remaja), tumbuh dengan lack of internal control and lack of sense of responsibility. Mengapa? Dengan memenuhi semua keinginan dan tuntutan mereka, remaja tidak belajar mengendalikan impulse, menyeleksi dan menyusun skala prioritas kebutuhan, dan bahkan tidak belajar mengelola emosi. Ini jadi bahaya karena remaja merasa jadi raja dan bisa melakukan apa saja yang ia inginkan dan bahkan menuntut orang lain melakukan keinginannya. Jadi remaja akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga asalkan tujuannya tercapai. Remaja juga tak memiliki sense of responsibility karena kemudahan yang ia dapatkan, membuat remaja tidak berpikir action-consequences, aksi reaksi, kalau mau sesuatu ya harus berusaha. Remaja di sekolah ingin dapat nilai bagus tapi tidak mau belajar, akhirnya mencontek, atau memaksa siswa lain memberi contekan dengan ancaman.
4.      Tapi sebenarnya mereka cerdas, pede, antusias tinggi dan aktif verbalnya. Cuma sense of responsibility yang mesti dikelola.
5.      Mereka sangat memperhatikan penampilan dan suka diperhatikan.
6.      Umumnya sedang mengalami cinta monyet, mulai tertarik dan naksir dengan lawan jenis, sehingga ruang konseling selalu ramai karena ada 1 orang atau sekelompok remaja datang untuk curhat tentang cinta monyet mereka (kebanyakan yang berani terbuka soal ini adalah kelompok perempuan, yang laki-laki lebih pemalu dan suka mengelak ketika disinggung topik ini).
7.      Mereka sensitif dengan guru yang berkata tegas, cenderung otoriter, gampang memberi punishment. Karena mereka datang dari rumah yang polanya permisif, segalanya serba BOLEH. Dan mereka sangat menggemari guru yang demokratis dan memperlalukan mereka seperti sahabat. Tapi pintar-pintarnya guru untuk siaga dan tegas, karena mereka juga cepat terlena dengan guru yang demokratis dan bersahabat. Kadang sudah dikasih jantung minta hati pula, begitu istilahnya.
8.      Mereka butuh kejelasan aturan main, tapi tidak menyukai guru yang suka mengungkit-ungkit permasalahan mereka di masa lalu atau kejadian yang tidak ada kaitannya dengan permasalahan mereka sata ini.
  1. Pada periode Operasi formal (period of formal operations) idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak.  Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya.  Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan.  Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri.  Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. 
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka  lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.

(Christianto Senda, S.Psi, konselor, pegiat sastra dan blogger di Komunitas Blogger NTT. Menetap di Kupang)


Artikel Terkait

Pengalaman Pertama Konselor di SMP
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email