Sekolah Berperan Besar Mencegah Anak Merokok

Tingginya angka perokok pada usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah bukan barang baru lagi. Kebiasaan merokok ini sebenarnya ditularkan dari lingkungan anak selama ini berinteraksi baik dari rumah hingga sekolah.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa pendidikan dan lingkungan sekolah memiliki peran yang sangat besar dalam menyebarkan pengetahuan bahwa merokok tersebut tidak baik dan merusak kesehatan. Untuk itu, sekolah harus bisa menumbuhkan kesadaran tersebut.

"Kalau di sekolah anak-anak memang jarang merokok bahkan tidak ada. Tapi di luar sekolah, itu pasti terjadi. Jadi jangan lelah untuk mengingatkan bahaya merokok ini," kata Nuh di Jakarta, Kamis (28/2/2013).

Ia menyadari bahwa merokok tersebut menjadi suatu kebiasaan lantaran zat adiktif yang terkandung di dalamnya. Namun saat masih muda, anak-anak ini akan mencoba mengerti apa yang akan dialaminya beberapa tahun mendatang jika tidak mau menghentikan kebiasaanya merokok tersebut.

"Ada yang bilang kalau tidak merokok tidak bisa mikir. Saya tidak merokok masih bisa mikir kok. Ini kan faktor kebiasaan saja. Kalau anak-anak diedukasi dengan baik maka angka ini bisa ditekan," ujar Nuh.

Berdasarakan survei yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, angka perokok usia anak SMP dan SMA telah mencapai 31,3 persen dari keseluruhan. Sementara untuk wilayah Jakarta saja, jumlah anak perokok aktif mencapai 20,6 persen dari angka keseluruhan di wilayah ibu kota.


FAKTA-FAKTA TENTANG PEROKOK


Konsumsi rokok di Indonesia tahun 2011 sekitar 270 miliar batang. Angka konsumsi rokok ini terus meningkat karena tahun 1970 konsumsi rokok baru sekitar 30 miliar batang. Konsumsi rokok di kalangan anak-anak juga terus meningkat.

Hasil survei perilaku merokok pelajar SMP dan SMA di Jakarta mengkhawatirkan. Survei lembaga Modernisator dan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti menunjukkan, 31,3 persen pelajar menjadi perokok, yakni 20,6 persen perokok aktif dan 10,7 persen mengaku pernah merokok.

Merespons itu, 85 pelajar SMP-SMA dari 18 sekolah dilatih menjadi agen perubahan di antara teman sebayanya. Pelatihan ini rangkaian kedua dari program satu tahun Youth Smoking Prevention (YSP) yang dicetuskan Modernisator. Program ini punya tiga target, yaitu pelatihan bahaya antirokok kepada guru, murid, dan orangtua.

Perokok aktif laki-laki di Indonesia mencapai 67 persen. Tingginya perokok aktif laki-laki tersebut akan mempengaruhi kesehatan perempuan dan anak yang terpapar asap rokok laki-laki yang merokok di rumah atau di tempat publik. Sedangkan persentase perempuan yang merokok sebesar 2,7 persen.

Hal itu terungkap dalam hasil survey kebiasaan menggunakan tembakau pada orang dewasa, Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011 yang diluncurkan di Kementerian Kesehatan, Selasa (11/9/2012). GATS merupakan survey nasional representatif yang menggunakan protokol standar antar negara.

Jika dibandingkan dengan hasil 16 negara lain yang melaksanakan GATS, presentase perokok aktif laki-laki Indonesia tertinggi. Di negara-negara lain seperti India, Thailand, Filipina, dan Vietnam perokok aktif laki-laki tidak menembus 50 persen.

"Di seluruh dunia, rokok telah membunuh 6 juta orang pada tahun 2010 lalu. Di Indonesia, jumlah kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok mencapai 190.260 orang. Penelitian menunjukkan bahwa iklan rokok, promosi, dan sponsor adalah pendorong epidemi global ini," kata Ketua IAKMI, Kartono Muhammad, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2013). Pernyataan itu terkait dengan Hari Tembakau Sedunia pada 31 Mei 2013.
Menurut Kartono, belanja iklan rokok yang menghabiskan sebanyak Rp 2 triliun menyebabkan prevalensi remaja laki-laki yang merokok meningkat tiga kali lipat, yakni sebesar 37,3 persen dari tahun 1995 hingga 2007.

Data dari Tobacco Control Support Center menyebutkan jumlah perokok remaja usia 15 hingga 19 tahun atau usia sekolah SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi meningkat 12,9 persen dalam kurun waktu 15 tahun (1995-2010). Peningkatan terbesar terutama pada remaja laki-laki, dari 13,7 persen menjadi 38,4 persen. Sedangkan pada remaja perempuan meningkat dari 0,3 persen menjadi 0,9 persen.

Menurut Arist, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI)iklan rokok sudah tidak terlalu berefek pada orang yang sudah merokok lebih dari 10 tahun. Biasanya mereka sudah loyal terhadap satu merek tertentu.
"Maka iklan rokok lebih menarik bagi remaja dan anak yang masih coba-coba merokok," ujarnya dalam diskusi Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2013 yang diadakan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Kamis (30/5/2013) di Jakarta.

Survei yang dilakukan KPAI pada 10.000 remaja dan anak beberapa waktu lalu menunjukkan 93 persen anak melihat iklan rokok dari tayangan televisi. Lima puluh persen dari baliho di jalan, dan 73 persen dari sponsor acara.

Dalam kesempatan yang sama, ketua Komnas Pengendalian Tembakau dr. Prijo Sidipratomo mengatakan, iklan rokok sangat mempengaruhi ketertarikan remaja dan anak untuk merokok. Penelitian membuktikan bahwa 70 persen anak muda yang melihat iklan rokok terpengaruh untuk merokok.

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Ezki Suyanto mengatakan, meskipun iklan rokok hanya boleh ditayangkan di televisi melebihi jam 21.30, namun iklan rokok yang cenderung kreatif dan menujukkan nilai kebersamaan dan kepahlawanan dapat menarik remaja dan anak.


Keluarga masih miskin menjadi pasar potensial sepanjang waktu dari produsen rokok di Indonesia. Sebanyak 74 persen keluarga miskin di wilayah perkotaan adalah perokok aktif. Selain itu, belanja rokok menempati peringkat kedua sebesar 22 persen, seteleh belanja besar sebanyak 19 persen.
Hal itu dipaparkan Ketua Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari dalam konferensi pers bertema "Larang Total Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok" yang diselenggarakan dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 31 Mei, di Jakarta, Rabu (29/5/2013).
Menurut Lisda, fenomena tersebut terjadi karena merokok dianggapa sebagai bentuk rekreasi termurah yang bisa didapatkan oleh perokok dari keluarga miskin. "Jadi segmentasi inilah yang juga  merupakan sasaran dari iklan rokok," kata Lisda.

Seperlima pria di negara miskin adalah perokok. Sementara itu, jumlah wanita yang merokok di usia muda terus meningkat. Demikian menurut hasil studi yang dimuat dalam jurnal The Lancet mengenai pola perokok secara global.
Penelitian juga mengungkapkan ada perbedaan yang besar mengenai jumlah perokok berdasarkan gender dan negara. Perbedaan lain adalah akses terhadap paraturan anti rokok dan terapi.

"Meskipun sejak 2008 1,1 miliar orang telah terlindungi berkat adaptasi peraturan pengendalian tembakau, tetapi 83 persen populasi dunia belum memiliki kebijakan tersebut," kata Gary Giovino dari Universitas Buffalo School of Public Health and Health Profession di New York, yang memimpin studi ini.

Dalam penelitian yang dilakukan Giovino, ia membandingkan pola perokok berusia 15 tahun ke atas di negara maju dan negara ekonomi lemah. Sebagai perbandingan digunakan data perokok di dari Amerika Serikat dan Inggris.

Negara dengan jumlah perokok terbanyak adalah China (301 juta), diikuti India (275 juta). Mayoritas adalah laki-laki (41 persen), sementara wanita hanya sekitar 5 persen. Jumlah perokok wanita paling banyak ada di negara Polandia (25 persen), Inggris (21 persen), dan AS (16 persen).

Mayoritas perokok (64 persen) memilih produk rokok industri, sementara di negara India dan Banglades kebanyakan mengunyah daun tembakau.
Menanggapi hasil penelitian tersebut, para pakar menyebutkan setiap negara seharusnya menginvestasikan dana lebih banyak untuk program pengendalian tembakau. Di negara miskin, dari setiap penghasilan 9.100 dollar Amerika pajak tembakau, hanya sekitar 1 dollar yang dipakai untuk pengedalian tembakau.



PEROKOK PASIF BERESIKO BERPERILAKU AGRESIF
Jauhkanlah anak-anak dari paparan asap rokok. Anak yang sejak bayi sering terpapar asap rokok bersiko tumbuh menjadi anak yang lebih agresif secara fisik dan antisosial.

Demikian kesimpulan penelitian yang dilakukan Linda Pagani dan Caroline Fitzpatrick dari University of Montreal, Kanada, yang bekerja sama dengan rumah sakit CHU Sainte-Justine. Penelitian dipublikasikan pada jurnal Epidemiology and Community Health.

"Asap yang dihisap oleh perokok pasif jauh lebih berbahaya dibanding asap yang dhisap langsung oleh perokok. Diperkirakan 40 persen anak di seluruh dunia menjadi perokok pasif," kata Pagani.

Paparan asap rokok pada tahun awal kehidupan anak sangat berbahaya karena otaknya masih dalam tahap perkembangan.
Pagani melakukan penelitian menggunakan data yang diambil dari 2.055 anak sejak lahir sampai berusia 10 tahun.

Data juga termasuk laporan orang tua dan guru terkait paparan asap rokok, serta anak itu sendiri tentang perilaku di sekolah.

Ternyata anak-anak yang terpapar asap rokok, meski berlangsung sementara, akan menjadikan anak lebih agresif. Agresifitas semakin meningkat bersamaan dengan usia yang semakin dewasa.

Walaupun belum ada sebab ilmiah yang menghubungkan agresifitas dan asap rokok, namun uji statistik sudah membuktikannya. Anak yang terpapar asap rokok menunjukkan kecenderungan perilaku agresif.

Penelitian tersebut akan dilanjutkan untuk melihat apakah asap rokok akan terus mempengaruhi perilakunya sampai dewasa.
Penelitian biologis mengenai efek rokok pada otak menyebutkan, perokok pasif menghirup sampai 85 persen asap sampingan dari rokok dan sisanya dihirup oleh si perokok sendiri.

Asap sampingan dinilai lebih beracun karena konsentrasi polutannya lebih tinggi. Paparan asap ini yang terlalu sering pada ibu hamil bisa menyebabkan gangguan sistem saraf sehingga bayi lahir dengan berat rendah dan pertumbuhan otak yang lambat.

Ruang Bebas Rokok Belum Tentu Bebas Risiko

Meski saat ini semakin banyak gedung atau bangunan yang membuat aturan melarang rokok, namun umumnya tetap disediakan ruang rokok khusus. Padahal, partikel dari rokok di ruang rokok itu bisa menyebar ke ruangan-ruangan lain yang sebenarnya bebas asap rokok.
Sebuah studi baru dari San Diego State University menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi perokok pasif meski ia berada di ruangan bebas rokok. Hal tersebut terutama jika seseorang berada di bangunan atau gedung yang belum memberlakukan larangan merokok secara menyeluruh.

Dalam riset tersebut ditunjukkan, seseorang yang berada di sebuah bangunan yang memberlakukan larangan merokok secara parsial memiliki kadar kontaminan dari tembakau dan nikotin yang lebih tinggi dalam tubuhnya.

"Senyawa dari asap rokok bergerak dengan cepat ke seluruh bangunan," ujar penulis studi Georg E. Matt. Senyawa bergerak melalui jendela, celah-celah dinding, ventilasi, hingga terbawa di pakaian dan rambut orang.

Meskipun studi ini tidak membahas tentang bahaya menjadi perokok pasif bagi kesehatan tubuh, namun studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahaya terpapar asap rokok. Paparan asap rokok dapat menyebabkan kerusakan DNA yang memicu jenis-jenis kanker tertentu.

Selain itu, imbuh Matt, risiko penyakit tertentu seperti asma dan penyakit pernapasan lainnya juga meningkat akibat terpapar asap rokok, meskipun hanya sebagai perokok pasif.

Maka untuk terhindar dari risiko kesehatan tersebut, Matt menyarankan untuk memilih bangunan yang benar-benar terbebas dari asap rokok.


PEROKOK TIDAK DITANGGUNG

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi berencana mengeluarkan peraturan untuk tidak menanggung biaya pengobatan pasien yang sakit karena merokok lewat Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Rencana itu disampaikan pada Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Rabu (23/1), di Jakarta. Rencana akan dibahas dengan Menteri Dalam Negeri dan diharapkan bisa segera diterapkan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 10-13, setiap orang berhak mendapatkan kesehatan, juga informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang. Namun, setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat.

Menurut Nafsiah, pemerintah telah bertahun-tahun menginformasikan bahaya merokok. Meski demikian, masih ada orang yang secara sadar memilih merokok. Pertanyaan moralnya, ”Berhakkah orang seperti itu mendapat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)?”

Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2010, total pengeluaran untuk tembakau Rp 245,41 triliun. Rinciannya, pembelian rokok Rp 138 triliun, biaya pengobatan penyakit akibat rokok Rp 2,11 triliun, kehilangan produktivitas Rp 105,3 triliun. Pendapatan negara dari cukai tembakau hanya Rp 55 triliun.

Nafsiah meminta semua tenaga kesehatan, pengelola Jamkesmas, dan PT Asuransi Kesehatan mencatat jumlah pasien yang sakit akibat merokok. Data akan digunakan untuk menganalisis jumlah dana pengobatan pasien perokok.

Hery Chariansyah, Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Kamis, menyatakan, PP No 109/2012 belum memberikan perlindungan optimal pada anak dari bahaya rokok. Salah satu kelemahan PP adalah masih membolehkan iklan, promosi, dan sponsor rokok.

MOTIVASI MEMEGANG PERANAN

Mengatasi adiksi nikotin alias kecanduan zat yang terkandung dalam rokok harus berbasis medis sebagaimana penanganan adiksi heroin dan kokain. Namun, agar berhasil, motivasi memegang peran penting.

Menurut Agus Dwi Susanto, dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-RS Persahabatan, Jakarta, Rabu (8/5), di Jakarta, pasien yang ingin berhenti merokok diberi konseling, hipnotis, dan terapi farmakologi dengan obat tertentu.

Agus yang menangani pasien di Klinik Berhenti Merokok RS Persahabatan menekankan, hal terpenting adalah motivasi pasien berhenti merokok. ”Tanpa itu, upaya apa pun tidak akan membuahkan hasil,” katanya.

Dokter spesialis kedokteran jiwa dari klinik yang sama, Tribowo T Ginting, mengatakan, rokok menyebabkan adiksi karena menimbulkan rasa nyaman. Efek yang ditimbulkan rokok seperti efek morfin sehingga orang selalu melakukan berulang.

Perilaku orang di sekitar dan paparan iklan rokok yang menyugesti bahwa merokok itu macho, kata Tribowo, menjadi faktor pendorong.

Faktor genetik turut berperan dalam adiksi. ”Ada gen tertentu pada orang-orang tersebut yang membuat mereka lebih mudah kecanduan,” katanya.

Senada dengan Agus, Tribowo menyatakan, motivasi berperan penting dalam keberhasilan upaya berhenti merokok. Dukungan keluarga juga sangat membantu, misalnya mengingatkan agar tidak merokok dan menghindarkan hal yang mendorong untuk merokok, termasuk tidak menyediakan asbak.

Berdasar data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, secara nasional prevalensi perokok tahun 2010 adalah 34,7 persen. Prevalensi perokok tertinggi pada kelompok umur 25-64 tahun, yakni 37-38,2 persen. Pada kelompok umur 15-24 tahun, yang merokok setiap hari mencapai 18,6 persen.




Peringatan bergambar di bungkus rokok berupa gambar-gambar "seram" seperti kanker mulut dan tenggorokan, dinilai lebih efektif untuk mengurangi keinginan merokok dibanding peringatan lewat tulisan.

Demikian kesimpulan para peneliti yang menyelidiki reaksi lebih dari 3.300 perokok terhadap efek dari peringatan bergambar di bungkus rokok.

Para perokok mengatakan bahwa peringatan bergambar lebih kredibel, memiliki dampak lebih besar dan menyebabkan munculnya keinginan berhenti merokok secara kuat dibanding peringatan berbentuk tulisan.

Dampak yang lebih kuat dari peringatan bergambar itu dirasakan oleh mayoritas responden dari berbagai kelas sosial dan etnis.

"Menggunakan peringatan bergambar adalah cara yang efektif dan efisien untuk mengomunikasikan risiko dari penggunaan tembakau," kata ketua peneliti Vish Viswanath, dari Harvard School of Public Health.

Peringatan berupa tulisan dianggap tidak akan terlalu diperhatikan para perokok.

Bila Anda seorang perokok dan masih mencari cara untuk mengatasi kecanduan rokok, nasihat yang satu ini mungkin dapat dipertimbangkan.  Luangkanlah waktu untuk berolahraga secara rutin selama beberapa menit setiap hari! Selain menyehatkan, aktivitas membakar kalori ini ternyata juga membantu mengurangi kecanduan tembakau.    

Penelitian terbaru para ilmuwan di George Washington University School of Public Health and Health Services (SPHHS) membuktikan,
aktivitas fisik terbukti mampu mengurangi kecenderungan untuk menghisap rokok, khususnya di kalangan remaja. Berolahraga selama 30 menit dapat meningkatkan kemungkinan untuk melupakan kebiasaan merokok.

Menurut studi tersebut, remaja yang mengikuti program latihan fisik berkesempatan lebih besar untuk tidak merokok. "Latihan fisik rutin 30 menit, termasuk jalan kaki selama 20 menit, lebih efektif dibanding penolakan merokok kepada teman satu geng,” kata peneliti SPHHS, Kimberly Horn, EdD.

Dalam riset ini, peneliti melibatkan 233 responden dari 19 sekolah menengah di West Virginia, yang merupakan negara bagian di Amerika Serikat dengan jumlah perokok terbanyak. Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hampir 13 persen penduduk West Virginia adalah perokok dengan usia di bawah 18 tahun. Para responden adalah perokok harian yang juga berisiko dalam kegiatan negatif lain. Rata-rata para responden bisa menghisap rokok setengah bungkus per hari atau satu bungkus pada akhir pekan.

Selama masa penelitian, beberapa responden mengikuti kegiatan untuk berhenti merokok, yang dikombinasikan dengan program kebugaran fisik. Sementara responden lain mengikuti program berhenti merokok, yang dikombinasikan dengan ceramah singkat.

Dari hasil penelitian terlihat, remaja dengan aktivitas fisik teratur terbukti lebih mampu mengurangi kebiasaan merokoknya. Para remaja juga diminta meningkatkan waktu atau menambah hari latihan. Penelitian lanjutan ini membuktikan latihan fisik 20-30 menit per hari menjadi waktu yang paling efektif.

Rasa sesak yang timbul akibat merokok selama berolahraga ternyata menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa sesak ini mendorong remaja untuk mengurangi konsumsi merokok. Konsumsi merokok yang menurun ternyata menimbulkan rasa lega saat bernafas, yang membantu remaja menyelesaikan latihan fisiknya.

Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk melihat hubungan biologis dan kimiawi, antara latihan fisik dan mengurangi kebiasaan merokok. Riset lanjutan juga dibutuhkan untuk melihat efektivitasnya di negara bagian lain, dan perlakuan untuk tingkat usia perokok yang berbeda. "Namun kami yakin studi ini bisa digunakan untuk promosi gaya hidup sehat, yaitu berhenti merokok dan rajin berolahraga," kata Kimberly.



Artikel Terkait

Sekolah Berperan Besar Mencegah Anak Merokok
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email