Sang Preman Guru

Setiap kali membaca atau mendengar berita tentang kekerasan guru terhadap siswa, selalu timbul rasa was-was di hati saya terhadap identitas oknum pelakunya. Jangan-jangan pelakunya adalah konselor sekolah. Seperti yang belum lama ini cukup gencar diberitakan, seorang guru di Gorontalo, seperti diabadikan dengan kamera HP salah satu siswa sekolah tersebut, terlihat sedang menampari satu persatu siswanya. Ini hanyalah sebuah kasus yang sempat terekspos di media. Saya yakin banyak kejadian serupa, lebih kecil atau lebih besar bobot kekerasannya, terjadi sehari-hari di sekolah-sekolah di Indonesia ini yang dilakukan sang oknum guru terhadap para siswanya.

Apapun alasannya, bentuk-bentuk kekerasan (fisik maupun nonfisik) maupun pelecehan (seksual) guru terhadap muridnya, tidak bisa dibenarkan. Guru yang menerapkan hukuman fisik atas nama penegakan disiplin maupun metode pendidikan, adalah guru yang salah kaprah, keblinger dan semau gue, mau enak dan mudahnya saja dalam memaknai arti dan fungsi mendidik. Hukuman fisik adalah wujud otoritarian seorang guru terhadap siswa yang tidak mengikuti aturannya. Di sini guru menempatkan diri sebagai penguasa tunggal di kelas dan sekolah, dan siswa adalah hamba yang tidak berdaya.
Tugas guru adalah membangun sikap dan kebiasaan positif pada siswanya yang terbentuk melalui proses internalisasi. Awalnya guru mengajari tentang nilai-nilai kebaikan dengan segala manfaatnya dan kerugian dan konsekuensi jika melanggarnya, lalu ia meneladankan melalui sikap dan perilakunya, berikutnya siswa menyerap nilai-nilai kebaikan itu sebagai pedoman hidupnya dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah proses internalisasi. Siswa bersikap baik dan positif dengan kesadaran bahwa hal itu memang seharusnya dilakukan, bukan karena dipaksa gurunya, terikat peraturan sekolah, atau lebih celaka, takut dihukum jika tidak melakukannya.

Ancaman dan hukuman fisik tidak akan mampu membentuk pribadi yang baik, ini hanya efektif mengubah perilaku positif sesaat; berlaku baik, taat, disiplin hanya karena takut dihukum, bukan atas kesadaran dari dalam diri. Hukuman fisik bukan tehnik mendidik yang efektif.
Hukuman fisik meninggalkan trauma psikologis bagi korbannya.
Hukuman fisik mencederai harga diri.
Hukuman fisik menumbuhkan motif membalas.
Bahkan kekerasan yang dianggap sebagai kebiasaan lumrah di sebuah lembaga pendidikan negara, nyata-nyata hanya melahirkan tindakan balas dendam terhadap angkatan dibawahnya, yang berlabel: wajar-wajar saja.

Sudah tidak jamannya lagi guru berperan sebagai tukang hukum siswanya. Hare gene mukul siswa, nggak usah la yauw.
Guru modern harus lebih menempatkan siswa dalam posisi sejajar. Pola otoritarian dalam proses mengajar diganti dengan pola dialogis. Jangan sok paling tahu hanya karena berpredikat guru. Jangan sok tersinggung jika siswa mempunyai pendapat berbeda.

Jangan jadi guru jika tidak mampu berperan sebagai guru.
Jangan jadi guru jika tidak mempunyai kapabilitas sebagai pendidik.
Jangan jadi guru jika tidak mempunyai kestabilan emosi.
Jangan jadi guru jika tidak berjiwa demokratis.
Jangan jadi guru jika tidak mampu digugu lan ditiru.

kesimpulannya, guru yang menerapkan hukuman fisik sebagai bentuk pendisiplinan adalah guru yang telah gagal berfungsi sebagai pendidik. Mungkin istilah yang tepat untuk oknum semacam itu adalah : preman guru. Lebih mengerikan jika sang oknum itu seorang konselor. Jadilah ia: preman konselor.
Awas, dicari polisi loh!

Artikel Terkait

Sang Preman Guru
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email