Peran Konselor Berwawasan Multikulturalisme Dalam Upaya Character Building Untuk Menjawab Tantangan MEA

PERAN KONSELOR BERWAWASAN MULTIKULTURALISME DALAM UPAYA CHARACTER BUILDING UNTUK MENJAWAB TANTANGAN MEA


ABSTRACT
The existence of conselor in No 20/2003 Constitution as educator, has similar qualification with another teachers, tutors, lecturer, facilitator, and instructor. The objective of this research is to find out the conselor’s role of multicultural view in building students’ characters in MEA’s era. The research findings show that conselor’s role in students’ character building is carrying out counselling activities through learning by doing, flag ceremony, games inside or outside class. The method is effective in creating students’ characters’ education.

Keywords: action research, ethics, behavior, content mastery, counseling

PENDAHULUAN
Keberadaan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Namun pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara kualifikasi tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan seting pelayanan spesifik yang satu dan yang lainnya mengandung keunikan dan perbedaan. Oleh sebab itu, konteks dan ekspektasi kinerja guru bimbingan dan konseling atau konselor mendapatkan penegasan kembali dengan maksud untuk meluruskan konsep dan praktik bimbingan dan konseling ke arah yang tepat. Merujuk pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, untuk selanjutnya tenaga pendidik di bidang bimbingan dan konseling disebut dengan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor.
Peran konselor dalam character building siswa.

Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal.

Sejalan dengan perkembangan zaman, dunia pendidikan (termasuk bimbingan dan konseling) menghadapi berbagai tantangan mulai dari tantangan global, nasional, dan lokal. Tantangan-tantangan itu harus dihadapi dengan sebaik-baiknya mulai dari tatanan konstitusional, kebijakan, manajerial, dan operasional dalam berbagai aspek dan dimensi.. Prof. Dr. Karlheinz A. Geissler (2000) menyatakan bahwa: “Learning has become the citizen’s first duty. ‘Stop learning and you stop living’”

Pada tatanan global Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu: (1) kecepatan (speed), (2) kenyamanan (convinience), (3) gelombang generasi (age wave), (4) pilihan (choice), (5) ragam gaya hidup (life style), (6) kompetisi harga (discounting), (7) pertambahan nilai (value added), (8) pelayananan pelanggan (costumer service), (9) teknologi sebagai andalan (techno age), (10) jaminan mutu (quality control). Menurut Robert B Tucker kesepuluh tantangan itu menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti: accelerated learning, learning revolution, megabrain, quantum learning, value clarification, learning than teaching, transformation of knowledge, quantum quotation (IQ, EQ, SQ, dll.), process approach, Forfolio evaluation, school/community based management, school based quality improvement, life skills, dan competency based curriculum.

Semua tantangan baik yang berasal dari perubahan global, nasional, maupun lokal pada gilirannya menuntut adanya inovasi bimbingan dan konseling dalam berbagai aspek dan dimensi. Salah satu dimensi yang perlu mendapat perhatian khusus adalah pendidikan.

Pendidikan adalah proses pembudayaan, proses kultural, atau proses kultivasi untuk mengembangkan semua bakat dan potensi manusia guna mengangkat diri sendiri dan dunia sekitarnya pada taraf human. Sebenarnya sejak dulu pendidikan moral sudah diberikan kepada anak-anak didik Indonesia. Dimana materinya diberikan melalui mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) dan Pendidikan Agama Islam.

Dilihat dari metodenya pun terjadi kelemahan karena metode yang digunakan hanya terkonsentrasi kemampuan kognitif belaka, yaitu siswa hanya diwajibkan untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku, penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan disekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia. Oleh karena itu, tidak aneh jika terjadi inkonsistensi antara apa yang diajarkan disekolah dengan yang diterapkan di luar sekolah (Kartono, 1992:22) Pemerintah saat ini melalui Kemendiknas sedang menggalakkan pendidikan karakter di sekolah. Bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada Mei 2010 silam, Kementrian Pendidikan Nasional mencanangkan pe-nerapan pendidikan karakter pada semua jenjang pen-didikan yang dimulai sejak sekolah dasar (SD) (Elmuarok, 2008: 108).

Hadirnya pendidikan karakter ini diharapkan bisa mencetak generasi baru bangsa Indonesia yang lebih baik lagi. Permasalahan yang muncul dari pelaksanaan pendidikan moral ini adalah pendidikan moral kurang efektif mengatasi berbagai permasalahan yang ada di bangsa ini. Dan salah satu solusi untuk membuat pendidikan moral menjadi efektif, mungkin dengan melakukan pendidikan karakter karena pendidikan moral biasanya hanya menyentuh aspek “pengetahuan”, belum sampai menyentuh pada aspek “perilaku” (Megawangi, 2007:82). 

Dengan demikian, pendidikan untuk membentuk efektifitas dari aspek perilaku akan dikembangkan melalui peningkatan bimbingan konseling sebagai upaya mengantisipasi adanya perilaku menyimpang yang terkait dengan kekerasan dan pelecehan seksual. Kemudian ini yang menjadi fenomena sekaligus tantangan bagi setiap insan untuk menyelesaikan berbagai macam masalah-masalah sosial yang ditimbulkan oleh perilaku menyimpang seseorang, khususnya yang bagi para pendidik maupun lembaga-lembaga pendidikan.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti tawuran massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di beberapa kota besar, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan  peranannya dalam membentuk kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter (Amri,  2011: 5)

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratif serta bertanggung jawab (Hidayatullah, 2010: 14).

Undang-undang tersebut sangatlah jelas menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dan beberapa point-point yang telah disebutkan. Hal tersebut sangat berkaitan dengan pembentukan karakter yang menjadikan peserta didik dapat mengembangkan potensinya yang memberikan manfaat untuk diri sendiri dan orang lain, sebagaimana pembentukan karakter lebih kepada membentuk watak dari peserta didik yang sesuai dengan budaya bangsa. Sehingga karakter khas pada putra bangsa tetap terjaga.

Pendidikan karakter bukan semata-mata soal pengetahuan belaka, namun terlebih soal kepribadian dan perilaku siswa sehari-hari. Pembangunan karakter (character building) merupakan tugas bersama antara orang tua, sekolah dan masyarakat atau lingkungan sekitar. Melalui keteladanan dan nasehat yang dilakukan secara terus-menerus akan menanamkan rasa tanggung jawab dan kemandirian seorang siswa. Siswa akan melaksanakan tugasnya sebagai seorang pencari ilmu dengan kesadaran dan kemampuan dirinya dengan tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan.

Namun, pada kenyataannya, masih banyak para siswa yang melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan aturan. Banyak siswa yang tidak memahami tanggung jawabnya sebagai seorang pancari ilmu di dunia sekolah, melakukan kegiatan maupun tugas secara instan. Tak sedikit diantara mereka yang bertindak brutal yang tidak mencermikan tugasnya sebagai siswa seperti: tawuran, miras dan sebagainya.

Pendidikan karakter tidak cukup hanya lewat ceramah dan nasihat tetapi terlebih harus dengan teladan konkret. Pendidikan karakter di sekolah lebih banyak berurusan dengan penanaman nilai yang dilakukan melalui belajar mengajar, pembiasaan dan ekstrakurikuler.

Fenomena sosial yang terjadi akhir-akhir ini di kalangan pelajar adalah munculnya keragaman kelompok sosial. Keragaman tersebut bisa berupa keragaman etnik, status sosial, budaya, interest atau hobi dan lain-lain. Sue menyebut (1991: 17-21) keragaman etnis, gender, latar belakang budaya, geografis, asal daerah, ras, kondisi fisik (abilitas/disabilitas), usia, serta keragaman sosial ekonomi, agama, karakteristik pribadi, kemampuan sosial, perilaku dan kebiasaan serta kemampuan intelektual, telah menjadi fenomena keseharian di madrasah, yang diakibatkan oleh penyebaran penduduk, mengikuti pekerjaan orang tua, atau perpindahan untuk mendapatkan pendidikan di tempat yang berbeda budaya.

Keragaman budaya (multikultural) merupakan peristiwa alami karena bertemunya berbagai budaya, berinteraksinya beragam individu dan kelompok dengan membawa perilaku budaya, memiliki cara hidup berlainan dan spesifik. Keragaman konseli seperti berbeda budaya, latar belakang keluarga, agama, dan etnis tersebut saling berinteraksi dalam komunitas sekolah dan hal tersebut memerlukan pemahaman budaya (Matsumoto,1996).

Dengan keragaman tersebut, maka potensi terjadi konflik tergolong besar, dan kadang-kadang konflik individu bisa meluas menjadi konflik sosial dengan mengatasnamakan ‘setia kawan’. Padahal konsep setia kawan adalah sikap yang bersumber dari rasa cinta kepada kehidupan bersama sehingga diwujudkan dengan amal nyata berupa pengorbanan dan kesediaan menjaga, membela, maupun melindungi terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat yang majemuk dengan kebudayaannya. Dan diharapkan dapat membentuk pribadi yang mampu menanamkan nilai kebersamaan, gotong-royong, tolong menolong dan kerjasama tanpa membeda-bedakan suku bangsa atau etnis seseorang.
Dengan adanya fenomena seperti diatas, penting adanya konselor dengan wawasan multikultural. Dalam layanan konseling, keragaman budaya menyadarkan Guru BK (konselor) tentang pentingnya kesadaran multikultural dalam menghadapi perbedaan, sekecil apapun perbedaan tersebut. Guru BK perlu mengubah persepsi mereka, mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang budaya. Guru BK sekolah, harus menghargai keberagaman konseli (Depdiknas, 2007, 12). 

Konselor perlu memiliki kesadaran multikultural yaitu menghargai perbedaan dan keragaman nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, menyadari adanya bias-bias dan kesadaran akan keterbatasan diri dalam hal budaya. Guru BK memahami pandangan hidup dan latar belakang budaya diri dan konseli serta mengembangkan strategi konseling yang sesuai budaya. Character building atau pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara objektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan, tetapi juga baik untuk masyarakat secara kesuluruhan (Zubaedi, 2011: 15). Suksesnya pendidikan apabila manusia sebagai obyek pendidikan itu memiliki kepribadian yang mulia yang dapat diimplementasikan dalam kehidupannya baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Samani dan Hariyanto (2011: 44) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Sedangkan menurut Muchlas Samani dan Hariyanto, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi Insan Kamil.

Karakter terbentuk setelah mengikuti proses sebagai berikut : 1) Adanya nilai yang diserap seseorang dari berbagai sumber, mungkin agama, ideologi, pendidikan, temuan sendiri atau lainnya. 2) Nilai membentuk pola fikir seseorang yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk rumusan visinya. 3) Visi turun ke wilayah hati membentuk suasana jiwa yang  secara keseluruhan membentuk mentalitas. 4) Mentalitas mengalir memasuki wilayah fisik dan melahirkan tindakan yang secara keseluruhan disebut sikap. 5) Sikap-sikap yang dominan dalam diri seseorang yang secara keseluruhan mencitrai dirinya adalah apa yang disebut sebagai kepribadian atau karakter (http://yuk-kitabelajar.blogspot.com/2013/04/pendidikan-karakter.html diakses tanggal 8 Oktober 2013).

Jadi, proses pembentukan karakter itu menunjukkan keterkaitan yang erat antara fikiran, perasaan dan tindakan. Dari wilayah akal terbentuk cara berfikir dan dari wilayah fisik terbentuk cara berperilaku. Cara berfikir menjadi visi, cara merasa menjadi mental dan cara berperilaku menjadi karakter.
Dalam publikasi Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional berjudul Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011), telah mengidentifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter yang merupakan hasil kajian empirik Pusat Kurikulum yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional.

Nilai-nilai tersebut adalah: (1) Religius (Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain); (2) Jujur (Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan), (3) Toleransi (Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya). (4) Disiplin (Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan). (5) Kerja Keras (Perilaku yang menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas belajar dengan sebaik-baiknya). (6) Kreatif (Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki). (7) Mandiri (Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas). (8) Demokratis (Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain). (9) Rasa Ingin Tahu (Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar). (10) Semangat Kebangsaan (Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya). (11) Cinta Tanah Air (Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa). (12) Menghargai Prestasi (Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain). (13) Bersahabat/Komunikatif (Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain). (14) Cinta Damai (Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain). (15) Gemar membaca (Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya). (16) Peduli Lingkungan (Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi). (17) Peduli Sosial (Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan). (18) Tanggung Jawab (Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa).

Dalam rangka character building ini, seorang konselor harus memiliki wawasan multikultural, dalam arti konseling multikultural tidak mengabaikan pendekatan tradisional yang monokultur, melainkan mengintegrasikannya dengan perspektif budaya yang beragam (Rakhmat, 2008). Tujuannya adalah memperkaya teori dan metode,serta pendekatan konseling yang sesuai dengan konteks. Dalam konseling terhadap beragam perbedaan budaya, Guru BK perlu mengambil sikap proaktif terhadap perbedaan budaya, mengenali dan menghargai budaya setiap konseli serta memiliki keyakinan, sikap dan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Ketiga kemampuan tersebut oleh Sue (2005) disebut kompetensi konseling multikultural. Kesadaran merupakan pondasi dari kompetensi multikultural.

Penelitian yang dilaksanakan peneliti sebagai guru BK SMAN Kerjo adalah metode kualitatif dengan pendekatan diskriptif, yaitu penelitian yang menggunakan informasi yang bersifat menerangkan dalam bentuk uraian, maka data yang ada tidak dapat diwujudkan dalam bentuk angka-angka melainkan berbentuk suatu penjelasan yang menggambarkan keadaan, proses, dan peristiwa tertentu (JSubagyo, 1991: 94). Sedangkan metode kualitatif merupakan “Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati”. (Moleong, 2002: 3).

Sebagai subyek dalam pembentukan karakter siswa melalui konseling berwawasan multikultural melalui berbagai kegiatan seperti mendorong kegiatan ekstrakurikuler, permainan dan role play, maupun sistem pamong. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Penelitian ini untuk menjawab masalah bagaimana peran konselor berwawasan multikulturalisme dalam upaya character building menjawab tantangan MEA?

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Adapun pembentukan karakter siswa di SMAN Kerjo ialah dengan cara pengenalan nilai-nilai karakter melalui kegiatan konseling berwawasan multikultural, kesadaran akan pentingnya nilai-nilai dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran maupun ekstra kurikuler.

Pada dasarnya pembentukan karakter siswa dilakukan melalui proses pembiasaan bersikap mulia dengan disandarkan pada tingkah laku guru sebagai teladan yang baik. Melalui prinsip dasar dan metode pendidikan kepramukaan siswa dilatih secara sadar menjadi manusia yang berkarakter tanpa adanya rasa terpaksa. Proses pendidikan terjadi saat peserta didik melakukan kegiatan menarik, menyenangkan, kreatif, dan menantang. Pada saat itu, konselor memberikan bimbingan dan pengembangan karakter.

Character building untuk peningkatan kesadaran multikultural dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun pelatihan konselor perlu model yang tepat dengan mempertimbangkan kondisi subyek penelitian, diantaranya bahwa mereka telah memiliki pengalaman konseling, memiliki keterbatasan waktu.

Konseling dalam rangka character building di SMAN Kerjo antara lain dengan melakukan kegiatan learning by doing (belajar sambil melakukan) yang dilaksanakan dalam kelas (saat pembelajaran) maupun pada kegiatan ekstrakurikuler.

Melalui belajar sambil melakukan siswa dituntut untuk berjiwa mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab dari apa yang ia terima dari guru untuk dipraktekkannya baik dalam waktu latihan maupun di implementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan di atas menyimpulkan bahwa character building di SMAN Kerjo lebih efektif  dengan kegiatan belajar sambil melakukan, serta diselingi dengan permainan. Kemudian dilakukan dengan pemberian materi. Dalam prosesnya, materi pendidikan karakter diberikan melalui penjelasan dari guru, pemberian contoh, kemudian seluruh peserta didik melakukan secara bergantian. Dengan demikian seluruh peserta terlibat aktif dalam kegiatan.

Kegiatan kedua adalah dengan kegiatan kelompok belajar. Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 guru mata pelajaran bahwa kegiatan kelompok belajar merupakan cara efektif untuk melatih rasa tanggung jawab dan kemandirian peserta didik. Dengan adanya kegiatan kelompok belajar, peserta didik akan belajar menjadi pemimpin maupun belajar dipimpin. Dengan demikian mereka akan tumbuh rasa tanggung jab dan jiwa kemandirian atas tugas dan tangungjawab yang diterimanya. Kegiatan kelompok belajar dilaksanakan dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar memimpin dan belajar dipimpin, berorganisasi, belajar memikul tanggung jawab, belajar mengatur diri, belajar bekerja dan bekerjasama, serta belajar kerukunan dalam budaya multukultural.

Untuk lebih mengefektifkan kelompok belajar maka dilengkapi dengan strategi pembelajaran berupa penayangan film dan video (audio visual), ceramah dengan bantuan media power point, game, diskusi dan kerja kelompok. Penanaman character building dan wawasan multikultural yang dapat memanfaatkan media film sesuai tema pelatihan sebagai stimulan terhadap siswa untuk melakukan tugas-tugas kelompok, diskusi, dan refleksi diri.

Kegiatan ketiga adalah upacara. Upacara di SMAN Kerjo diselenggarakan sebagai bentuk pendidikan, di dalam upacara terdapat beberapa peraturan yang harus ditaati dan dijalankan oleh seluruh peserta upacara. Pada saat upacara juga terdapat bimbingan langsung dari Pembina upacara. Bimbingan disini diartikan sebagai pengarahan tata urutan upacara dan pemberian sambutan dari Pembina upacara, pengarahan tata urutan upacara membiasakan pramuka untuk tetap bersikap disiplin, teratur dan tertib. Sedangkan sambutan dari Pembina upacara akan lebih bermakna untuk karena mendapatkan sentuhan kata-kata pengarahan dari Pembina upacara yang menggugah semangat dan jiwa persatuan.

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang yang ditata dalam suatu ketentuan peraturan yang dilaksanakan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting, seperti upacara adat, upacara pelantikan, upacara pemberian tanda penghargaan, upacara peringatan dan upacara lainnya (Anggadireja, 2012: 43).

Selain kegiatan diatas, bimbingan konseling juga terdapat permainan-permainan yang menyenangkan serta mengandung nilai pendidikan agar kegiatan lebih bersemangat dan tidak membosankan untuk peserta didik. Seorang konselor harus kreatif dalam memberikan permainan, di dalamnya tidak hanya kegiatan yang membuat peserta didik tertarik dan antusias, tetapi mengandung nilai karakter untuk ditanamkan kepada peserta didik.

Permainan bukan seperti permainan biasanya, tetapi permainan yang bermakna dalam mengembangkan nilai karakter peserta didik. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam permainan adalah: 1) Permainan harus mengandung unsur kesehatan, sehat di dalam kepramukaan adalah sehat jasmani dan rohani; 2) Permainan juga harus mengandung unsur kebahagiaan; 3) Permaianan juga harus mengandung unsure tolong-menolong, kerja sama, menghargai orang lain, berani berkorban untuk orang lain; 4) Permainan juga harus mengandung unsur yang bermanfaat; 5) Permainan juga harus tetap dapat mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual, dan fisik; 6) Permainan harus senantiasa menarik, aman dn nyaman, dan 7) Permainan yang bersifat kompetitif akan lebih baik (Anggadiredja, 2011: 43).

KESIMPULAN DAN SARAN
Peran konselor dalam berwawasan multikulturalisme dalam upaya character building dalam menjawab tantangan MEA adalah melaksanakan kegiatan konseling dengan melakukan kegiatan learning by doing, kegiatan upacara, kegiatan permainan-permainan yang mengarah pada kecerdasan siswa. Metode pendidikan tersebut sangatlah efektif dalam pembentukan karakter siswa dengan ditunjukkan siswa yang memiliki rasa tanggung jawab, berjiwa mandiri dan memiliki disiplin dalam dirinya selalu datang tepat waktu


Daftar Pustaka
Amri, Sofan. 2011. Mengembangkan Pembelajaran IPS Terpadu. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya.

Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban. Bangsa. Surakarta: Yuma Presindo Surakarta.

Lexy J. Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja. Rosdakarya

Muchlas Samani dan Hariyanto, 2011, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008

Ratna Megawangi, 2009, Pendidikan Karakter; Solusi Tepat Untuk Membangun Bangsa, Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

UU No. 20/2003 pasal 1 ayat 6
Zubaedi, 2011, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana.


Penulis :
Dra.  Sri Muji Wahyuti, M.Pd., Kons, 
adalah alumni Program Studi Bimbingan dan Konseling, 
FKIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Bekerja sebagai konselor di SMAN Kerjo Karanganyar.

Artikel Terkait

Peran Konselor Berwawasan Multikulturalisme Dalam Upaya Character Building Untuk Menjawab Tantangan MEA
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email