Bali, Senggigi, dan Ikon Makanan


Siapa menyangkal Bali adalah daerah wisata terfavorit di Indonesia?
Rasanya tidak ada yang akan menolak jika diajak berwisata ke pulau dewata ini. Jika suatu daerah dikaitkan sebagai ikon pariwisata, saya yakin, Bali menempati rangking pertama. Pariwisata di Bali telah menjadi industri. Banjir duit mengalir ke sana bersama kedatangan para turis nusantara dan mancanegara. Begitu besarnya ketergantungan Bali terhadap turisme, sehingga ketika terjadi peristiwa teror bom di sana, perekonomian langsung drop. Tapi itu sudah berlalu, dan Bali telah kembali menjadi salah satu magnet wisata dunia.

Terutama di kalangan para siswa, Bali seakan ditahbiskan menjadi tempat yang wajib dikunjungi. Berkeliling di daerah dan tempat wisata manapun di Indonesia, jika belum pernah ke Bali, rasanya belum lengkap. Bahkan sekali berkunjung, dirasa belum cukup puas. Makanya saya merasa heran tapi sekaligus memahami mengapa teman-teman sampai sekarang masih memilih Bali sebagai tujuan wisata favorit. Coba saja disurvei, sudah berapa kali anda bersama rombongan siswa maupun keluarga, melancong ke Bali? Pasti rata-rata lebih dari 3kali, atau mungkin 5 kali lebih. Barangkali rekornya masih kalah dengan mas Rissa, yang telah 11 kali piknik ke Bali. Terakhir bulan April lalu dia mengadakan tur perpisahan ke Bali bersama para siswa SMA PGRI Kajen, Pekalongan. Bulan sebelumnya, mbak Muji and his gang juga baru ke sana. Sangat mungkin bulan ini bakal banyak teman-teman yang bertujuan serupa. Tul nggak? Ngaku saja.
Pikirku, sebagus-bagus dan seelok-eloknya Bali, kok tidak bosen berkali-kali dolan ke sana. Padahal perjalanannya saja PP makan waktu 2-3 hari, di sana paling cuma nginap semalam dua malam. Capek di jalan. Yang dilihat ya obyek yang itu-itu saja. Iya toh?

Coba tanyakan saya, berapa kali ke Bali? Percaya gak percaya, cuma sekali, itu pun 22 tahun lewat, saat studi tur dulu di masa kuliah. Katrok banget ya. Padahal kalau dinalar, dari tempat tinggal saya saat ini, jarak ke Bali relatif dekat. Lebih jauh ke Surabaya malah. Dari rumah ke Ketapang, 1jam, nyebrang dan antrinya 1 jam, dari Gilimanuk ke Denpasar sekitar 2jam an. Apalagi kalau nanti lapangan terbang di Blimbingsari sudah beroperasi, tambah dekat saja.
Apakah Bali tidak menarik buat saya? Sangat menarik. Masalahnya, saya tidak cukup punya waktu dolan ke sana. Waktuku habis untuk kerja, cari peces kata orang sini. Faktor kedua, kalau naik kendaraan darat, butuh waktu lama karena kebetulan saya dan istri gampang mabuk. Kalau sudah mabuk, butuh waktu beberapa hari untuk memulihkan kondisi fisik.
Saya memang memendam hasrat ke Bali. Tapi saya tak tertarik ke tempat-tempat wisata konvensional seperti Tanah Lot, Pantai Kuta, Tampak Siring, Kintamani, dsb. Daya tarik Bali bukan bukan cuma itu. Sudah lama saya ingin mengunjungi Pak Oles centre, ini produsen madu dan minyak oles Bokashi. Mencoba Terapi Bokashi ala Pak Oles, satu-satunya di dunia cuma ada di Bali.
Semacam mandi sauna tapi medianya bukan uap, tapi sekam panas. Tubuh ditimbuni sekam panas sampai sebatas leher. Kebanyakan yang tertarik justru turis asing. Atau jika cukup waktu, pengin ikut pelatihan bikin kompos dengan tehnik bokashi. Cukup nyleneh ya?

Sebetulnya, kalau bicara wisata pantai, ada yang lebih eksotis ketimbang Bali, yaitu PANTAI SENGGIGI. Sayang, letaknya lumayan jauh, yaitu di Pulau Lombok. Kalau dari Denpasar masih meneruskan perjalanan sekitar 2 jam menuju pelabuhan ..?? Apa ya, lupa! Trus nyebrang dengan ferry selama 4jam kalau ombaknya tenang. Kalau bulan-bulan Juli sampai September, ombaknya lumayan besar, butuh waktu sekitar 6 jam. Sampai di pelabuhan Lombar (?), lanjut ke Mataram sekitar 1jam. Lama banget khan. Tapi kalau sudah sampai Senggigi, dijamin puas. Sejauh mata memandang, memukau.

Apalagi kalau mencicipi makanan khas Lombok, wih, tiada duanya di Indonesia. Krupuk rambaknya top banget, kriuk-kriuk enak banget. Pokoke rasanya tidak sama dengan krupuk rambak di Jawa.
Lalu ada Plecing Kangkung. Pol enake. Kangkung Lombok itu tangkainya lebih besar, ditumis tidak layu, rasanya renyah, Kalau di Jawa kita mungkin meremehkan kangkung, pasti apresiasi kita berbeda terhadap kangkung lombok. Tenan iki.
Jangan lupa ayamnya, namanya Ayam Taliwang. Semacam ayam panggang dengan bumbu khas Lombok.

Wah, jadi malah ngomongin makanan. Padahal turisme sekarang tidak lepas dari wisata kuliner lo. Kurang afdol kita mengunjungi suatu daerah tanpa mencicipi hidangan khas daerah tersebut. Malahan wisata kuliner ini bisa jadi ikon wisata suatu negara. Menarik turis melalui makanan. Lagi-lagi kita ketinggalan soal ini dengan negara tetangga, padahal Indonesia itu gudangnya makanan enak. Setuju khan. Tidak sebatas nasi pecel dan nasi goreng. Mungkin program Visit Indonesian Years perlu didukung kampanye Satu Propinsi, Satu Makanan Khas. Tiap propinsi harus menemukan makanan khas sebagai ikon daerah tersebut.

Tapi ini bisa jadi malah bikin ribut. Potensinya mungkin melebihi konflik pilkada. Gara-garanya jenis makanan tertentu diklaim lebih dari satu daerah sebagai makanan khas daerah tersebut. Contoh makanan yang berpotensi jadi rebutan adalah pecel. Jatim dan Jateng mungkin bisa saling klaim, atau daerah lain juga. Karena pecel bisa jadi sudah menjadi makanan nasional Indonesia. Atau Soto, kira-kira banyak daerah yang menjagokannya. Khan ada Soto Madura, Soto Lamongan, Soto Kudus, Soto Makasar, apa lagi? Soto mana yang paling soto dari yang lain? Turis asing bisa heran dan penasaran ingin mencoba semua jenis soto tersebut. Berarti dia harus keliling daerah-daerah asal soto. Bagus khan.
Kalau Nasi Aking, ada gak ya yang minat menjadikan ikon makanan khas daerah?
Ada-ada saja ya.

Artikel Terkait

Bali, Senggigi, dan Ikon Makanan
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email